Jumat, 17 Januari 2014

Meregulasi Emosi

Hampir setiap saya mengambil rapot anak2 saya, atau ketika ada pertemuan orang tua dan guru, saya selalu diingatkan untuk mengantarkan anak2 pagi2.
Kenapa guru2 di sekolah selalu mengingatkan agar setiap murid bisa datang pagi2?
"Biar anak2 bisa ikut jurnal dan main bebas, bu."
Jawab koordinator tim guru pra sekolah.
Apakah hanya demi menggambar (jurnal) dan bermain bebas saja kah setiap orang tua, terutama orang tua murid pra sekolah, bela2in berangkat pagi hari agar anak bisa datang pagi?
Ternyata bukan itu intinya!

Mengikuti jurnal atau menggambar atau "mencorat-coret" bagi anak pra sekolah (dan menulis apa yg dipikirkan pagi ini bagi anak sd sampai sma) serta bermain bebas berfungsi untuk meregulasi emosi anak-anak.

Dengan membuat jurnal, anak bisa mengungkapkan apa yg mereka pikirkan dan rasakan.

Terlihat dari pemilihan warna yang digunakan saat menggambar dan jenis coretan anak, bagi anak pra sekolah.
Sedang bagi anak sd sampai sma, mereka sudah jauh lebih bisa mengungkapkan perasaan mereka melalui rangkaian kata (semacam membuat buku harian).

Dari jurnal tersebut anak2 diregulasi emosinya.
Mungkin saja ada yang bangun tidurnya diburu2, padahal masih mengantuk.
Atau pergantian kegiatan yang terlalu cepat bagi anak-anak (bangun tidur langsung mandi, langsung pakai baju, langsung makan, langsung berangkat), mungkin biasa bagi orang dewasa, tp bagi anak-anak hal itu sangat berat dan itu membuat mood mereka jadi tidak nyaman.
Itu yang dimaksudkan tim guru kenapa anak harus mengikuti jurnal dan bermain bebas.

Semua mood mereka yang mungkin tidak menyenangkan, bisa diungkapkan dalam jurnal mereka.
Dengan demikian perasaan negatif yang mungkin mereka bawa dari rumah bisa teregulasi, bisa terganti dengan perasaan yang lebih baik.

Apa fungsi dari regulasi emosi ini?
Dengan perasaan yang nyaman, mood yang baik setelah teregulasi emosi mereka, mereka siap untuk menerima semua informasi yang tim guru berikan dan yg mereka dapatkan dari sosialisasi mereka di sekolah.
Dengan demikian informasi yang mereka dapatkan bisa bertahan dengan baik di otak mereka, sampai lama. Karena perasaan yang nyaman akan membuat informasi yang masuk jauh lebih mudah :)

Beranjak dari hal tersebut, saya jadi berpikir bahwa meregulasi emosi bukan hanya 'tugas' anak.
Tapi justru lebih dititikberatkan pada orang tua.
Kamsudnya? Eh, maksudnya?
Coba bayangin ya...
Seorang guru yang ingin mengajarkan sikap saling menyayangi dan lemah lembut. Beliau berkata di depan kelas.
"Sebagai sesama manusia kita harus saling menyayangi dan bersikap lemah lembut! Ngerti gak?! Inget ya, harus lemah lembut!!!"
Intonasi tinggi, tensi 5, mata melotot,  sambil pegang penggaris lagi... Hadeuh...
Kira2 bisa masuk ga ya apa yang diajarkan oleh guru tersebut?
Saya rasa, bisa masuk ke kepala muridnya, tapi mereka sendiri ga ngerti bagaiman bersikap saling menyayangi dan lemah lembut itu, iya kan?
Sama seperti orang tua yang sedang mendidik anak2nya.

Ketika ingin mendidik anak agar bersabar, tentu kita sebagai orang tua yang harus lebih dulu bersikap sabar, menunjukkan perilaku sabar di depan anak kita.
Jangan malah kita bilang ke anak, "kalau mau sesuatu itu harus sabar! Ngerti ga?!" Tapi sambil marah2 dan muka ditekuk tekuk...
Yang didapat anak kita adalah: sabar itu berarti berkata-kata dengan tensi tinggi dan muka yang sangat tidak ramah.
Wow, selamat! Anda telah menghancurkan mindset anak anda... :p

Saya selalu berkali-kali diingatkan oleh suami saya,
"Kalau lagi menghadapi anak dan udah mau marah, lebih baik diam daripada ngomong ga jelas dengan nada tinggi. Bisa melukai hati anak!"
Okay, itu cukup membuat saya makjleb...

Dan poinnya adalah, meregulasi emosi bagi kita para orang tua adalah sebuah kewajiban dan keharusan.
Bagaimana kita bisa benar2 bersikap tenang, sabar, baik, menyenangkan secara tulus dan sungguh2 jika itu semua hanya pura2?
Hei... Anak2 sangat peka, mereka bisa dengan mudah merasakan mood orang tuanya yang sedang tidak baik hanya melalui tatapan mata atau cara berbicara atau cara bersikap atau bahkan cara tertawa kita yang tidak seperti biasanya.

Ketika sedang menghadapi anak dan ada sebuah hal yang dilakukan anak kita yang memancing emosi kita, usahakan diam saja dulu.
Tetap tenang dan merespon seperlunya saja.
Tarik nafas dalam, beristighfar, lalu mulailah tersenyum dan ikut tertawa lepas.
Hal tersebut bisa meregulasi rasa kesal tadi. Setidaknya membuat rasa kesal tadi berangsur menghilang.
Ini berguna bagi ibu2 yang kesehariannya di rumah yang sudah penat dan bosan dengan rutinitas yang itu lagi itu lagi...

Bagi yang bekerja juga...
Sebelum menghadapi anak, coba lepaskan dulu beban pikiran kantor.
Niatkan bertemu anak itu sebagai refreshing dan ibadah.
Tarik nafas dalam2 dari hidung dan keluarkan.
Tersenyumlah seceria mungkin sambil membayangkan momen paling indah dalam hidup.
Dan silakan bertemu dengan malaikat kecil itu :)

Meregulasi emosi sangat2 diharuskan bagi siapa saja yang selalu berhubungan dengan anak2, baik orang tua maupun para pengajar.
Karena dengan emosi yang baik dan positif apapun yang kita lakukan pastilah juga positif.
Mengapa harus selalu positif di depan anak? Karena anak adalah spons hidup yang selalu menyerap semua hal yang mereka lihat, dengar, rasakan. Dan semua hal tersebut yang akan menjadi pijakan hidup mereka dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.
Jikalau limbik mereka penuh dengan hal positif, maka semua tindak tanduk mereka in sha allah selalu positif.
Because a great parent rising a great child... :)

Keep positive, dears...

jurnal-jurnalnya ikhlas selama satu smester