Minggu, 25 September 2016

Kepingan

Aza terlihat cantik sekali hari ini. Senyum yang tersemat di bibirnya sama persis dengan senyummu, Bang. Mengingatkanku akan senyum yang selalu bisa melelehkan penatku setelah suntuk seharian bekerja. Aza terlihat sangat bahagia menyalami semua orang di hari bahagianya ini. Di sampingnya adalah seorang lelaki yang aku tahu persis pasti akan sangat kau cemburui karena bisa menggandengnya. Bukankah kau yang selalu mengatakan bahwa satu-satunya lelaki yang boleh menggandeng Aza adalah dirimu. Ah, sayang sekali kau keliru.
Mandavela yang melengkung indah menghiasi setiap sudut taman belakang rumah kita. Menemani tetamu yang sedang asik bercengkrama saling melempar senyum dan canda. Di hari ini semua tampak berkilau, terpapar sinaran dari Aza. Sesiapapun yang melihat binar matanya dan lengkung senyumnya akan pula ikut terbawa rasa suka cita yang sama. Ah, Aza, malaikat kecil kita sudah tumbuh menjadi bunga yang mekar di taman hati setiap orang.
Masih aku ingat persis bagaimana dia menangis ketika terjatuh dari sepeda merah mudanya saat pertama kali ia belajar sepeda denganmu, Bang. Aza yang berurai air mata karena lututnya terluka, kau dekap dengan lembut,
“Jangan menangis wahai cahaya mataku. Sakitmu tak akan seberapa dibandingkan dengan apa yang kelak kau dapatkan ketika kau bisa bersepeda. Bepergian, menjelajah bersama angina, membiarkan rambut ikal hitammu dimain-mainkan dengan gelombangnya.”
Dan seketika itu, Aza kembali tersenyum. Senyum yang sama dengan senyummu. Senyum yang sama seperti tujuh tahun lalu, saat ia tidak berhasil mendapatkan posisi yang dia inginkan di kampusnya karena kabar burung yang disebarkan oleh rekannya. Aku juga masih mengingat bagimana Aza kembali merangkai senyum yang telah sirna selama beberpa hari dari wajah mayangnya.
“Jangan menangis wahai cahaya mataku. Meski engkau terjerembab dalam kepiluan, hadapilah kenyataan. Biarlah engkau sebagaimana adanya. Kelak aka nada waktu yang tepat untukmu menunjukkan kemilaumu.”
Dan benar saja, setelah semangat itu terpompa kembali yang dipancarkan di wajah oval hitam manisnya, dua hari kemudian ia membawa kabar bahwa ia menjadi salah satu mahasiswa yang mendapatkan kesempatan short course di Jepang dari kampusnya. Ia berpikir, seandainya kemarin ia mendapatkan posisi yang ia inginkan tak mungkin ia bisa berkonsentrasi pada ujian short course itu.
Ia kembali mendapatkan senyumnya, dan itu karenamu, Bang. Papa nomor satu di dunia! Yang bukan saja mengukir senyum untuk diri sendiri, namun justru mengukir senyum buah hatimu untuk senyummu.
Aza adalah sosok wanita mandiri yang penuh kepercayaan diri. Dan ia mendapatkan itu bukan dariku, Bang, tapi justru darimu. Melalui kedekatanmu dengannya, pengertian-pengertian yang kau berikan. Ia merasakan bahwa dirinya berharga. Bahwa ia diterima. Bahwa ia disayangi. Itu yang membuat dia nyaman dengan dirinya dan pada akhirnya nyaman dengan lingkungannya.
Aza, gadis kecil yang awalnya tertutup karena sering sekali diejek mengenai warna kulitnya, kini tumbuh bagaikan seorang putri yang bersinar. Yang sinarnya mampu memancarkan sinaran lain dari diri orang lain. Meski berkali-kali aku memompakan rasa optimis itu pada Aza, mengingat diriku pun sama sepertinya, ia tetap tak bisa begitu saja menerimanya. Aza menolak keluar dari rumah untuk bermain bersama teman-temannya selama beberpa hari.
Dan kau, lagi-lagi kau, Bang, yang mampu mengantarkannya pada tahtanya. Kau tak banyak berkata, namun memperlihatkan betapa kau mencintaiku. Kau memperlihatkan bahwa penerimaan atas sosok bukanlah karena kulit, namun apa yang ada di dalamnya, hati. Kau mengajarkan hal itu, melalui caramu memperlakukanku, dari caramu menghormatiku, dari caramu membuatku nyaman.
Aza melingkarkan lengannya di lengan kukuh seorang pria yang tampak sangat menyayanginya. Seperti melihatmu memperlakukanku sejak awal pernikahan kita, Bang. Aza begitu nyaman berada di dekat pria sainganmu itu, Bang! Ah, tak bisa dilukiskan seperti apa arti tatapan Aza pada pria itu dan seperti bagaimana pria itu terlihat begitu berbahagia menjadi yang dipercaya oleh Aza sebagai pendampingnya. Tak ada air mata duka di antara mereka, Bang, sama seperti yang selama ini coba kau beri pada Aza.
Kau memang tak selalu membuat Aza tersenyum, namun bukan pula kau membuat Aza bersedih tak menentu. Kau, dengan caramu, mengajari Aza untuk menghargai dirinya. Mengerem keinginannya yang sangat bertolak belakang dengan kebanyakan remaja seuisianya.
Malam itu, ketika Aza dijemput oleh seorang lelaki tak kau kenal. Dengan tatapan tegas dan suara berat, kau meminta Aza masuk ke kamar. Aza tak bisa menerimanya, aku tahu itu. Ia tak melawanmu dengan kata-kata apalagi teriakan, ia hanya meneteskan air mata. Pertama kalinya ia mengalami penolakan yang cukup kerasa darimu. Aku bisa memakluminya.
Lalu hari Minggu tiba, setelah semalamnya penolakan itu ia terima. Kau mendekatinya yang sedang berbaring di hammocknya di halaman belakang. Kau berdehem pelan saat itu, yang ditanggapi dingin oleh Aza. Kikuk di antara kalian. Lalu sebuah lelucon konyol kau luncurkan, membuat Aza susah menahan tawanya,
“Aku masih tetap benci Papa!” ujarnya setelah mati-matian menahan tawa.
Kau terdiam, sambil menyodorkan sebuah bungkusan. Aku sendiri tak tahu kalau kau menyiapkan sesuatu untuknya. Kau memang penuh teka-teki indah, Bang.
Aza terdiam, menerima bingkisan itu dan perlahan membukanya. Sebuah buku harian bersampul kulit coklat, buku yang hingga kini selalu ia bawa ke mana-mana, ‘Serasa ada sama Papa’ begitu katanya suat kali.
“Maaf, kala itu papa membuat senyum orang yang papa cinta mengerucut. Meski papa memohon tapi ternyata aliran waktu begitu cepat, tak bisa berhenti. Mengalir hingga tak berjarak. Anak papa yang tadinya selalu papa gendong ke mana pergi, sekarang sudah menjadi gadis remaja yang punya dunia yang berbeda, yang tidak ada papa di dalamnya. Cukup berat menerima itu, Za. Papa minta maaf jika Aza kurang nyaman dengan sikap papa semalam. Papa hanya ingin Aza tau, Aza berharga. Aza adalah berlian papa, tak mungkin papa memberikannya pada sembarang orang. Hanya orang terpilih yang papa izinkan untuk papa titipkan Aza.”
Panjang sekali percakapan kalian kala itu. Namun selepas hari itu, Aza berubah. Ia tetap dengan sosoknya yang periang, yang tak bisa diam, yang selalu ingin tahu, namun ia jauh lebih melibatkan kita untuk selalu mengetahui apa saja yang ia kerjakan. Bang, kau memang motivator nomor satu, yang menunjukkan cinta bukan hanya melalui kata-kata, namun perbuatan nyata.
Tetamu menyelamati Aza, mendoakan dengan berbagai kebaikan. Aza mengamini satu persatu doa mereka, pun denganku. Aza, cahaya matamu, Bang, tumbuh menjadi gadis penuh pesona. Bukan karena rupa, Bang, namun karena keluasan hatinya yang seperti samudera.
Seperti samudera yang ia seberangi ketika mendapatkan beasiswa masternya di negeri eropa. Dengan penuh air mata Aza memelukmu erat, tergugu ia tak ingin melepaskan pelukan itu. Namun kata-katamu menjadi pemompa semangatnya saat itu, hingga kini.
“Wahai kepingan papa, bagian hidup papa, jadilah tangguh. Kepakkan sayapmu. Jangan kau berpaling kembali. Lintasilah samudera luas. Papa harap beribu cahaya akan menerangimu setiap waktu. Pergilah, Aza, temukan mimpimu di sana, dan persembahkan yang terbaik untuk papa, untuk penciptamu dan papa.”
Ah, air mata ini tidak bisa kubendung, Bang. Kenangan yang meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa mongering. Ingin rasanya mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi dan memelukmu kembali. Bersama putri kita menjalani hidup bersama. Seperti dulu.
Ya, Aza kini sudah menemukan kepingannya yang lain, selain dirimu, selain aku, selain kita. Aza berada di dalam perlindungan seorang lelaki yang tepat, yang dapat membuatnya nyaman, membuatnya lebih baik tanpa merasa takut kehilangan kejatiannya. Seseorang yang juga melihatnya sebagai cahaya matanya. Aza, bunga itu, telah berkemabng sempurna. Persis seperti yang kau katakana ketika kita menemukannya dua puluh lima tahun yang lalu di depan pintu rumah kita.
“Dinda, ini adalah jawaban Tuhan atas siang malam doa kita. Percayalah pada Tuhan, bukan padaku. Tajamkan penglihatanmu! Di sisimu nanti, sekuntum bunga terlahir kembali. Bergoyang di bawah benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan dan bunga itu adalah bayi manis ini, Azalea.”
Dan kau buktikan semua ucapanmu dua puluh lima tahun yang lalu. Kau yang membuat sebuah bunga terlahir kembali. Kau yang menyemai bibit kasih sayang di dalam hamparan tanah lapangnya. Kau yang seorang yatim piatu namun mampu memberikan kasih sayang yang jauh lebih utuh daripada aku yang hidup dalam kehangatan sebuah keluarga.
Akan selalu kujaga Aza untukmu, untuk Pencipta kita. Terimakasaih sudah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengajariku semua hal indah dalam kehidupan ini, Bang.
Watashi no kakera yo…

~Windy, 260916~

Ps: untuk kepingan bunda, Ozora, selamat hari lahir, nak.. berbahagialah dalam hidupmu bersama penjagaan terbaik Rabbmu untukmu dan orang-orang yang mencitaimu. Barakallahu fii umrik, shalih…




Saya menulis cerita ini terinspirasi dari lirik lagu grup band Jepang, L’arc en Ciel yang judulnya Pieces. Lagu ini sangat manis. Konon diciptakan oleh Hyde (sang vokalis) sambil membayangkan anak perempuannya kelak menikah dan meninggalkannya. Video klipnya ternyat cukup menguras air mata, tapi sayang saya tidak bida mendapatkan yang utuh, hanya potongan video klipnya saja.

Di bawah ini ada lirik lagu Pieces berikut artinya dalam bahasa Indonesia.

Pieces by L’Arc~en~Ciel

nakanaide nakanaide taisetsu na hitomi yo  
kanashi sa ni tsumatsu itemo shinjitsu wo mite itene  
sono mama no anata de ite
Jangan menangis, jangan menangis wahai cahaya mataku
Meski kau terjerembab dalam kepiluan, hadapilah kenyataan
biarlah engkau tetap sebagaimana adanya

daisuki na sono egao kumorasete gomen ne  
inottemo toki no nagare hayasugite  
tooku made nagasareta kara modorenakute  
Maaf, kala itu kubuat senyummu yang kucinta mengerucut
Meski kumohonkan, tetapi aliran waktu begitu cepat
tak bisa terhenti, mengalir hingga jauh tak berjarak
                                                  
aa odayaka na kagayaki ni irodorare  
saigetsu ha yoru wo yume ni kaerumitai dakara  
Ah, diwarnai damainya cahaya gemerlap
karenanya kuingin mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi

me wo korashite saa! 
anata no sugu soba ni mata atarashii hana ga umarete  
komorebi no naka de azayaka ni yureteru  
Tajamkan penglihatanmu!
Di sisimu nanti, sekuntum bunga terlahir kembali
Bergoyang di bawah benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan

itsumademo mimamotte agetai kedo  
mou daijyoubu yasashii sono te wo
matteru hito ga irukara  kao wo agete  
Meski kuingin mempertahankanmu hingga kapanpun
kini kupahami seseorang telah menanti
'tuk menggenggam tanganmu dengan lembut
tengadahkan wajahmu!

ne toii hi ni koi wo shita ano hito mo  
urarakana kono kisetsu wo aisuru hito to ima  
kanjiteru ka na?  
akankah dia yang kukasihi sekian waktu lalu
kini, bersama kekasih barunya
merasakan cerahnya musimku?

aa watashi no kakera yo  
chikara tsuyoku habataite yuke  
furikaeranaide hiroi umi wo koete  
takusan no hikari ga itsumo hi ni mo arimasu youni  
anata ga iru kara kono inochi ha eien ni tsudzuite yuku  
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh, kepakkan sayapmu
jangan kau berpaling kembali, lintasilah  samudera luas
kuharap beribu cahaya akan menerangimu setiap waktu
karena kau ada di sini, hidupku pun berlanjut dalam keabadian
                                     
aa ryoute ni afuresouna  
omoidetachi karenai you ni  
yukkuri ashita wo atsumete yuku kara  
Ah… kenangan yang meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa mengering
karenanya rangkumlah esok yang tiba dengan lambat
                      
watashi no kakera yo  
chikara tsuyoku habataite yuke  
furikaeranide hiroi umi wo koete! 
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh, kepakkan sayapmu

jangan berpaling kembali, lintasilah samudera luas!

saya dapat terjemahannya dari larukupedia
kalau ada yang penasaran dengn lagunya silakan klik link berikut: Pieces

mohon maaf kalau banyak kesalahan kata atau nggak nyambung.. nulisnya cuma satu jam dan pake acara ngantuk pula heheheh... demi oz, kepingan bunda ^.^