Jumat, 21 April 2017

Film: Kartini, Reka Ulang Sejarah atau Penafsiran Belaka?






Jika saja saya tidak terlahir dalam keadaan muslim dan tidak belajar Islam, saya tidak akan tahu betapa Islam sangat memuliakan wanita--saya rasa banyak muslimah, bahkan yang sudah mengikuti banyak pengajian, yang juga  tidak tahu betapa mulia posisinya di dalam islam.
Dan pastinya saya akan sangat terhanyut dengan film garapan Hanung ini dan  menelannya bulat2...

Berbicara mengenai film Kartini, untuk alur dan sinematikanya, Hanung memang jagoan...
Ia seolah menjadikan penontonnya sebagai pribumi di tanah Jawa abad 19 (tahun 1800-an), merasakan kentalnya kultur tanah jawa pada masa penjajahan belanda, mencecap banyak sekali adat istiadat jawa melalui unggah ungguh dan juga bahasanya, serta menggambarkan sedikit banyak apa yang terjadi di masa itu terhadap pribumi dan penjajah--dalam hal ini hubungan para bangsawan dengan penjajah.
Pengambilan gambar yang dilakukan oleh Hanung, meski latarnya sebatas rumah ke rumah, hanya beberapa kali ke sebuah desa pengukir kayu dan taman penuh bunga yang dikatakan sebagai negeri belanda, namun seolah menggambarkan keadaan indonesia dan belanda pada masa itu.
Alur cerita yang dibuat hanung cukup halus dan menghanyutkan. Momen paling berasa (feminismenya) adalah saat kartini dan 2 adiknya bermain2 di pantai...

Tunggu, feminisme?
Dengan keadaan jawa pada masa itu, di mana diceritakan di film dan juga literasi2 yang ada, baik dari barat maupun yang telah berkembang lama, wanita jawa adalah manusia tanpa hak kecuali hak untuk tetap hidup. Tekanan yang dihadapi para wanita jawa itulah yang membuat Kartini ingin melawan. Dan ia yang, lagi2 berdasarkan cerita film tersebut, besar dalam pendidikan belanda (sebagai bentuk politik etis) dan banyak melahap buku-buku belanda baik fiksi maupun non fik
si, tentu saja pada akhirnya melihat bahwa barat (dalam hal ini belanda) memiliki jawaban atas ketidakadilan yang kaum wanita rasakan saat itu yaitu FEMINISME. Bahkan jelas dalam sebuah scene diperlihatkan Kartini 'berbincang' dengan tokoh Stella, dan ia bertanya, "Stella, apakah kamu feminis?"
Ya, dalam filmnya Hanung seolah ingin menyampaikan pesan bahwa jawaban dari ketidakadilan persamaan hak antara laki2 dan perempuan adalah FEMINISME..
Namun maaf saja, itu sebuah KESALAHAN BESAR...

Merujuk sebuah buku (Muslimah Sukses Tanpa Stress), salah satu efek gerakan feminisme adalah terciptanya 'superwoman' di masa sekarang ini, apakah salah? Jelas, karena superwoman sangat tak sesuai fitrah. Ia hanya menciptakan banyak sekali wanita yang terjebak depresi saat mengejar predikat superwoman.
Bahkan yang lebih ekstrim, berdasarkan penuturan doktor Dinar, seorang peneliti di INSISTS, sebuah portal berita luar negeri (the guardian), mengemukakan hasil riset antara tahun2 sebelum gerakan feminisme mencuat hingga setelah adanya gerakan feminisme, yang hasilnya sungguh mengejutkan! Ternyata tingkat kebahagiaan wanita jauh lebih tinggi sebelum adanya gerakan feminisme dibandingkan setelah ada gerakan tersebut. bisa lihat linknya di sini.

foto dapat di sini

Dan jika saya boleh berandai, ingin rasanya saya mengajak Kartini mengenal islam dengan sangat baik hingga ia benar2 tahu bahwa posisi mulia memang ditawarkan oleh Islam bagi perempuan, tidak seperti barat yang justru melihat perempuan tak lebih dari makhluk yg tak ada gunanya (ini menurut socrates)...

Atau saya sendiri salah berandai? Karena sependek pengetahuan saya, dan ada jelas disebutkan di beberapa sumber bahwa Kartini memeiliki seorang kakek yang merupakan guru mengaji. Memiliki kakek yang merupakan guru mengaji namun tak tahu islam? Ini sebuah hal aneh. Setidaknya menurut saya. Jawabnya ada 2: kartini tidak dekat dengan kakeknya yang mengerti islam sehingga kartini tdk mengenal islam dengan baik, atau memang ada fakta sejarah yang tdk diceritakan di sini...

Keduanya memungkinkan, namun hal yang paling mungkin adalah jawaban nomor 2. Kenapa? Merujuk dari tulisan dr Adian Husaini di link ini, Kartini dimunculkan justru bukan oleh orang indonesia, namun oleh Belanda sendiri. Maka merupakan sebuah kewajaran jika banyak sekali fakta yang tidak dibuka bukan saja terkait kartini, namun juga tentang masa itu.

Dan merujuk pada literasi yang ada, bahwa Kartini berkawan dengan Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri pada masa Presiden Soekarno, di mana H. Agus Salim merupakan seorang jenius yang taat beragama, tak mungkin rasanya Kartini jauh dari nilai-nilai islam. Namun kita memang tak bisa hanya merujuk pada hal tersebut, karena memang pasa masa itu penjajah sangat mengekang muslim Jawa mempelajari Islam bahkan mengetahui arti ayat-ayat quran, berbeda dengan muslim di Sumatera (yang mana pada masa penjajahan, banyak sekali perlawanan dari tanah sumatera, karena ajaran Islam mengenai kemerdekaan).

haji Agus Salim dan Istri beliau, sumber foto: dari sini


Dalam film itu juga diperlihatkan bahwa sistem poligami yang dijalani pada masa itu sungguh merupakan sebuah hal yang sangat menyakitkan bagi wanita.
Meminjam kata-kata seorang sahabat, apakah memang demikian adanya masa itu ataukah ini salah satu bentuk pemaksaan pola pikir zaman sekarang yang dibawa ke masa itu berdasarkan penafsiran sang sutradara dan penulis skenario?
Lagi-lagi hal ini tidak tergambar dengan baik (secara adil) dalam film tersebut.

Maka ketika kita menyaksikan film Kartini besutan Hanung ini, silakan nikmati dengan baik sampai habis film tersebut, namun jangan terlupa untuk tetap berpikir kritis sesuai dengan world view Islam yang kita miliki dengan baik.

#kartini
#catatanbundy

Kamis, 20 April 2017

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah

Mitos Kartini dan Rekayasa Sejarah
Oleh: Dr. Adian Husaini

Ada yang menarik pada Jurnal Islamia (INSISTS -Republika) edisi 9 April 2009 lalu. Dari empat halaman jurnal berbentuk koran yang membahas tema utama tentang Kesetaraan Gender, ada tulisan sejarawan Persis Tiar Anwar Bahtiar tentang Kartini. Judulnya: “Mengapa Harus Kartini?”

Sejarawan yang menamatkan magister bidang sejarah di Universitas Indonesia ini mempertanyakan: Mengapa Harus Kartini? Mengapa setiap 21 April bangsa Indonesia memperingati Hari Kartini? Apakah tidak ada wanita Indonesia lain yang lebih layak ditokohkan dan diteladani dibandingkan Kartini?

Menyongsong tanggal 21 April 2009 kali ini, sangatlah relevan untuk membaca dan merenungkan artikel yang ditulis oleh Tiar Anwar Bahtiar tersebut. Tentu saja, pertanyaan bernada gugatan seperti itu bukan pertama kali dilontarkan sejarawan. Pada tahun 1970-an, di saat kuat-kuatnya pemerintahan Orde Baru, guru besar Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar pernah menggugat masalah ini. Ia mengkritik ‘pengkultusan’ R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia.

Dalam buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1990, cetakan ke-4), Harsja W. Bahtiar menulis sebuah artikel berjudul “Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita”. Tulisan ini bernada gugatan terhadap penokohan Kartini. “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut,” tulis Harsja W. Bachtiar, yang menamatkan doktor sosiologinya di Harvard University.

Harsja juga menggugat dengan halus, mengapa harus Kartini yang dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978), terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut.

sumber: dari sini

Padahal, papar Harsja, kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh.

VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.

Siti Aisyah We Tenriolle, sumber: dari sini

Tokoh wanita kedua yang disebut Harsja Bachriar adalah Siti Aisyah We Tenriolle. Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan, mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette, tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun untuk wanita.

Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen Ovink suami istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian pada Kartini tiga bersaudara.

Harsja menulis tentang kisah ini: “Abendanon mengunjungi mereka dan kemudian menjadi semacam sponsor bagi Kartini. Kartini berkenalan dengan Hilda de Booy-Boissevain, istri ajudan Gubernur Jendral, pada suatu resepsi di Istana Bogor, suatu pertemuan yang sangat mengesankan kedua belah pihak.”

Ringkasnya, Kartini kemudian berkenalan dengan Estella Zeehandelaar, seorang wanita aktivis gerakan Sociaal Democratische Arbeiderspartij (SDAP). Wanita Belanda ini kemudian mengenalkan Kartini pada berbagai ide modern, terutama mengenai perjuangan wanita dan sosialisme. Tokoh sosialisme H.H. van Kol dan penganjur “Haluan Etika” C.Th. van Deventer adalah orang-orang yang menampilkan Kartini sebagai pendekar wanita Indonesia.

Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun kemudian, terbit terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922).

Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds, yang diketuai C.Th. van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini, serta ide-idenya pada orang-orang di Belanda. Harsja Bachtriar kemudian mencatat: “Orang-orang Indonesia di luar lingkungan terbatas Kartini sendiri, dalam masa kehidupan Kartini hampir tidak mengenal Kartini dan mungkin tidak akan mengenal Kartini bilamana orang-orang Belanda ini tidak menampilkan Kartini ke depan dalam tulisan-tulisan, percakapan-percakapan maupun tindakan-tindakan mereka.”

Karena itulah, simpul guru besar UI tersebut: “Kita mengambil alih Kartini sebagai lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda. Kita tidak mencipta sendiri lambang budaya ini, meskipun kemudian kitalah yang mengembangkannya lebih lanjut.”

Harsja mengimbau agar informasi tentang wanita-wanita Indonesia yang hebat-hebat dibuka seluas-luasnya, sehingga menjadi pengetahuan suri tauladan banyak orang. Ia secara halus berusaha meruntuhkan mitos Kartini: “Dan, bilamana ternyata bahwa dalam berbagai hal wanita-wanita ini lebih mulia, lebih berjasa daripada R.A. Kartini, kita harus berbangga bahwa wanita-wanita kita lebih hebat daripada dikira sebelumnya, tanpa memperkecil penghargaan kita pada RA Kartini.”

Dalam artikelnya di Jurnal Islamia (INSISTS-Republika, 9/4/2009), Tiar Anwar Bahtiar juga menyebut sejumlah sosok wanita yang sangat layak dimunculkan, seperti Dewi Sartika di Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.

Dewi Sartika (1884-1947) bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus (1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan. Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.

Kalau Kartini hanya menyampaikan ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang, 1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera (Medan).

Bahkan kalau melirik kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari serangan Belanda.

Tengku Fakinah, selain ikut berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama, yakni Malahayati.

Jadi, ada baiknya bangsa Indonesia bisa berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu? Cut Nyak Dien tidak pernah mau tunduk kepada Belanda. Ia tidak pernah menyerah dan berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini.

Meskipun aktif berkiprah di tengah masyarakat, Rohana Kudus juga memiliki visi keislaman yang tegas. “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya. Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan,” begitu kata Rohana Kudus.

Seperti diungkapkan oleh Prof. Harsja W. Bachtiar dan Tiar Anwar Bahtiar, penokohan Kartini tidak terlepas dari peran Belanda. Harsja W. Bachtiar bahkan menyinggung nama Snouck Hurgronje dalam rangkaian penokohan Kartini oleh Abendanon. Padahal, Snouck adalah seorang orientalis Belanda yang memiliki kebijakan sistematis untuk meminggirkan Islam dari bumi Nusantara. Pakar sejarah Melayu, Prof. Naquib al-Attas sudah lama mengingatkan adanya upaya yang sistematis dari orientalis Belanda untuk memperkecil peran Islam dalam sejarah Kepulauan Nusantara.

Dalam bukunya, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu ((Bandung: Mizan, 1990, cet. Ke-4), Prof. Naquib al-Attas menulis tentang masalah ini:
“Kecenderungan ke arah memperkecil peranan Islam dalam sejarah Kepulauan ini, sudah nyata pula, misalnya dalam tulisan-tulisan Snouck Hurgronje pada akhir abad yang lalu. Kemudian hampir semua sarjana-sarjana yang menulis selepas Hurgronje telah terpengaruh kesan pemikirannya yang meluas dan mendalam di kalangan mereka, sehingga tidak mengherankan sekiranya pengaruh itu masih berlaku sampai dewasa ini.”

Apa hubungan Kartini dengan Snouck Hurgronje? Dalam sejumlah suratnya kepada Ny. Abendanon, Kartini memang beberapa kali menyebut nama Snouck. Tampaknya, Kartini memandang orientalis-kolonialis Balanda itu sebagai orang hebat yang sangat pakar dalam soal Islam. Dalam suratnya kepada Ny. Abendanon tertanggal 18 Februari 1902, Kartini menulis:
”Salam, Bidadariku yang manis dan baik!… Masih ada lagi suatu permintaan penting yang hendak saya ajukan kepada Nyonya. Apabila Nyonya bertemu dengan teman Nyonya Dr. Snouck Hurgronje, sudikah Nyonya bertanya kepada beliau tentang hal berikut: ”Apakah dalam agama Islam juga ada hukum akil balig seperti yang terdapat dalam undang-undang bangsa Barat?” Ataukah sebaiknya saya memberanikan diri langsung bertanya kepada beliau? Saya ingin sekali mengetahui sesuatu tentang hak dan kewajiban perempuan Islam serta anak perempuannya.” (Lihat, buku Kartini: Surat-surat kepada Ny. R.M. Abendanon-Mandri dan Suaminya, (penerjemah: Sulastin Sutrisno), (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2000), hal. 234-235).

Melalui bukunya, Snouck Hurgronje en Islam (Diindonesiakan oleh Girimukti Pusaka, dengan judul Snouck Hurgronje dan Islam, tahun 1989), P.SJ. Van Koningsveld memaparkan sosok dan kiprah Snouck Hurgronje dalam upaya membantu penjajah Belanda untuk ’menaklukkan Islam’. Mengikuti jejak orientalis Yahudi, Ignaz Goldziher, yang menjadi murid para Syaikh al-Azhar Kairo, Snouck sampai merasa perlu untuk menyatakan diri sebagai seorang muslim (1885) dan mengganti nama menjadi Abdul Ghaffar. Dengan itu dia bisa diterima menjadi murid para ulama Mekkah. Posisi dan pengalaman ini nantinya memudahkan langkah Snouck dalam menembus daerah-daerah Muslim di berbagai wilayah di Indonesia.

Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak terjang Snouck dalam ’penyamarannya’ sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ’ulama’. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai ”Mufti Hindia Belanda’. Juga ada yang memanggilnya ”Syaikhul Islam Jawa”. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam: ”Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun memberi kita hak untuk mengharapkannya.” (hal. 116).

Snouck Hurgronje (lahir: 1857) adalah adviseur pada Kantoor voor Inlandsche zaken pada periode 1899-1906. Kantor inilah yang bertugas memberikan nasehat kepada pemerintah kolonial dalam masalah pribumi. Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), Dr. Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya, adalah melakukan ‘pembaratan’ kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan, sehingga mereka jauh dari Islam.

Menurut Snouck, lapisan pribumi yang berkebudayaan lebih tinggi relatif jauh dari pengaruh Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa. Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional mereka. Menurutnya, Islam Indonesia akan mengalami kekalahan akhir melalui asosiasi pemeluk agama ini ke dalam kebudayaan Belanda. Dalam perlombaan bersaing melawan Islam bisa dipastikan bahwa asosiasi kebudayaan yang ditopang oleh pendidikan Barat akan keluar sebagai pemenangnya. Apalagi, jika didukung oleh kristenisasi dan pemanfaatan adat. (hal. 43).

Aqib Suminto mengupas beberapa strategi Snouck Hurgronje dalam menaklukkan Islam di Indonesia: “Terhadap daerah yang Islamnya kuat semacam Aceh misalnya, Snouck Hurgronje tidak merestui dilancarkan kristenisasi. Untuk menghadapi Islam ia cenderung memilih jalan halus, yaitu dengan menyalurkan semangat mereka kearah yang menjauhi agamanya (Islam) melalui asosiasi kebudayaan.” (hal. 24).

Itulah strategi dan taktik penjajah untuk menaklukkan Islam. Kita melihat, strategi dan taktik itu pula yang sekarang masih banyak digunakan untuk ‘menaklukkan’ Islam. Bahkan, jika kita cermati, strategi itu kini semakin canggih dilakukan. Kader-kader Snouck dari kalangan ‘pribumi Muslim’ sudah berjubel.

Biasanya, berawal dari perasaan ‘minder’ sebagai Muslim dan silau dengan peradaban Barat, banyak ‘anak didik Snouck’ – langsung atau pun tidak – yang sibuk menyeret Islam ke bawah orbit peradaban Barat. Tentu, sangat ironis, jika ada yang tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah merusak Islam, dan pada saat yang sama tetap merasa telah berbuat kebaikan.

Selasa, 11 April 2017

~ Gadis atau Janda, Mana Lebih Utama ~

~ Gadis atau Janda, Mana Lebih Utama ~

sumber gambar: dari sini



sumber gambar: dari sini

Haduh ini judulnya udah provokatif hahaha... maaf ya, ini sekadar meluruskan status FB  saya ini yang saya buat beberapa hari yang lalu yang mungkin pada akhirnya seperti multi tafsir. bahwa saya sedang tidak menyuruh para bapak jika ingin poligami lalu jangan memilih yang muda, biar ngikutin Rasulullah... hehehe..
Status FB saya murni tentang yang mau menikah, janganlah terpaku dengan usia calon istri, karena Rasulullah saja tidak terpaku di bagian itu. untuk lengkapnya kenapa saya membuat status itu, mungkin bisa lihat tulisan saya sebelumnya di sini.
Dari status saya tersebut jadi memanjang ke sebuah mindset yang jamak kita ketahui saat seorang pria memilih jodoh yang masih gadis dan muda. dalam hal ini pasti banyak sekali ustadz yang menukil hadist dari Jabir bin Abdullah,
"Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menemuiku kemudian bersabda, 'Wahai Jabir, apakah engkau telah menikahi seorang perempuan? Saya katakan, "Ya, wahai Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Gadis atau Janda?' Saya katakan, 'Janda.' Maka beliau bertanya, 'Mengapa engkau tidak menikahi gadis agar engkau dapat bermain-main dengannya dan dia bermain-main denganmu?'" (HR an Nasai, no.3220)
Kalimat terakhir ituah yang biasanya dijadikan argumentasi para pria untuk mencari pasangan yang masih gadis dan yang biasanya lebih muda. memang tidak ada yang salah. mencari pasangan memang sesuai selera masing-masing, kliknya di mana, dengan yang tipe seperti apa, dengan model macam mana. meski Rasulullah sendiri telah mengajarkan memilih pendamping yang baik itu seperti apa (dan tak ada yang harus muda atau gadis dalam tuntunan tersebut :D).
Nah, yang banyak belum diketahui adalah dalam beberapa riwayat, hadits itu belum selesai.
(lanjutan dari hadits di atas)
"Aku menjawab, 'Aku punya adik-adik perempuan (yang dipelihara karena ayahnya sudah tiada) dan aku tidak ingin menimbulkan persaingan di antara mereka (karena sama-sama masih muda).' Rasulullah berkata, 'Keputusanmu itu lebih baik.'" (HR Ibnu Majah no.1860)
"Maka saya katakan, 'Wahai Rasulullah, saya memiliki beberapa saudara perempuan dan saya khawatir ia akan menjadi penghalang antara diriku dan mereka.' beliau bersabda, "Itulah pilihan yang benar. sesungguhnya, seorang perempuan dinikahi karena agamanya, hartanya, dan kecantikannya. carilah yang beragama baik maka engkau akan beruntung.'" (HR an NAsai, no.3226)
"Aku menjawab, 'Ya Rasulullah, ayahku syahid dalam Perang Uhud dan meninggalkan sembilan anak yatim, yakni saudara-saudara perempuanku. aku kurang suka menikah dengan gadis seumuran mereka maka aku cari perempuan yang sudah matang agar ia dapat menyisir rambut adik-adikku dan merawat mereka.' Nabi menjawab, 'Kamu telah mengambil pilihan yang benar.'" (HR Bukhari, no.4052)
Ada juga dari HR Muslim, no 715d yang bunyinya sama dengan HR an Nasai, no 3226 di atas.
Dari hadist2 tersebut diperlihatkan bahwa Rasulullah justru memuji pilihan Jabir yang menikahi seorang janda karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki seorang janda, seperti kematangan emosi, kemampuan mengurus rumah tangga, dan kemampuan menjadi teladan.

sumber foto: dari sini

Dalam buku Muslimah Sukses Tanpa Stres dikemukakan alasan mengapa Rasulullah pada awalnya bertanya, “Mengapa engkau tidak menikahi gadis agar engkau dapat bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu?” Ada dua alas an. Pertama, Nabi ingin menguji pemahaman sahabat Jabir tentang kriteria istri, sebagaimana seorang guru ingin memastikan muridnya memahami ajarannya dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari respon Nabi Muhammad terhadap jawaban Jabir, “Itulah pilihan yang benar”, “Kamu telah mengambil pilihan yang benar”, dan sebagainya.
Alasan kedua, karena status Jabir yang masih perjaka. Bila seorang perjaka menikah dengan seorang perawan, keduanya dapat ‘bermain-main’ terlebih dahulu karena keduanya sama-sama belum memiliki pengalaman dalam hubungan suami-istri. Hal ini dapat kita lihat dari kalimat yang digunakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, “Agar engkau dapat bermain-main dengannya dan ia bermain-main denganmu.” Hadits ini berlaku juga bagi seorang gadis. Lebih diutamakan baginya memilih perjaka ‘agar ia dapat bermain-main’ terlebih dahulu dengan suaminya.
Berlawanan dengan opini-opini tentang anjuran menikahi perawan,—di mana hadist “…hendaknya kalian menikahi gadis perawan, karena mereka lebih bagus pergaulannya, lebih subur rahimnya dan lebih bisa menerima kekurangan.” Ternyata hadits ini adalah hadits hasan, bahkan dinilai dhoifun jiddan oleh syeikh al Albani (sumber: ikhwahmedia.wordpress.com) ini adalah tambahan dari saya, windy—justru terdapat hadits yang memerintahkan kaum Muslimin laki-laki untuk mengurus dan memelihara janda. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan menyamakan kedudukannya laksana seorang mujahid. Bentuk pemeliharaan janda yang paling baik—tanpa menimbulkan fitnah—adalah dengan menikahinya.
“Siapa yang memelihara janda dan orang-orang miskin adalah seperti pahlawan yang berperang di jalan Allah. Atau, laksana shalat sepanjang malam dan puasa sepanjang siang.” (HR Bukhari, no.5353)
Rasulullah sendiri mencontohkan. Istri-istri yang beliau pilih selalu berstatus janda. Para sahabat mulia juga mengikuti jejak Rasulullah. Setiap ada seorang perempuan menjanda, para sahabat bersegera mengirim utusan untuk meminangnya. Mereka berebut kesempatan untuk memelihara janda, untuk meraih pahala yang dijanjikan Allah subhanahu wa ta’ala.
(Muslimah Sukses Tanpa Stres, Bagian 13: Janda atau Perawan, hal.185-187)
Dari uraian tersebut, kita dapati bahwa keduanya memiliki keutamaan masing-masing, tak ada yang lebih utama siapa daripada siapa di antara keduanya. Bahkan Allah berfirman dalam surat at Tahrim ayat 5, yang memperlihatkan kedudukan yang sama antara janda dan perawan di hdapan Allah,
عَسَى رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا (٥)
“Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh Jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu, perempuan-perempuan yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang beribadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.”
Jadi bukan siapa lebih utama dari siapa, karena masing-masing memiliki keutamaannya sendiri-sendiri tentu dengan kekurangnnya sendiri-sendiri. Tak perlu ada kecemasan atau keharusan mengikuti statement bahwa Rasulullah lebih menyarankan menikahi gadis/perawan, karena pada kenyataannya keduanya sama-sama utama, tempatkanlah sesuai tempatnya.
foto: dari sini


Bahkan dalam sebuah kesempatan, Doktor Erma Pawitasari mengatakan alasan beliau mengangkat bab ini di bukunya (Muslimah Sukses Tanpa Stres), bahwa beliau ingin kembali mendudukan status janda di tempatnya. Beliau melihat fenomena yang ada saat ini, bahwa status janda itu tidak semulia status gadis perawan, bahkan banyak yang melihat status janda sebagai sebuah status yang buruk dan tidak terhormat. Beliau mengibaratkan seperti dua orang anak, yang satu selalu dieluk-elukan, sementara yang satunya selalu dianaktirikan. Beliau ingin menempatkan kembali si anak yang satu ini di tempatnya. Bahwa keduanya tak ada bedanya. Bahwa keduanya sama-sama memiliki keutamaan.
sekian status panjang ini, mohon maaf lahir dan batin atas kesalahan kata-kata.
#catatanbundy
#belajarlagi
#bundybelajar

sumber foto: dari sini



Yang Lebih Utama

Pada suatu hari saya menemukan postingan seorang adik yang menyentil saya. Menyadarkan bahwa memang tak dipungkiri bahwa lelaki memiliki kriteria sendiri dalam mencari calon istri. Tak mengapa, asalkan masih berpegang pada syariat, agar tetap selamat. Hal ini membuat saya teringat pada suatu ketika ketika mengikuti kajian di AQL. Saat itu sambil menanti ustadz Zaitun, pengisi pengajian malam itu, akhirnya ada sharing dengan ustadz Hasan. ustadz hasan ini dakwahnya sungguh luar biasa, berkeliling dari tempat terpencil satu ke tempat lainnya. menyebarkan nilai-nilai islam di mana2, membangun beberapa masjid padahal beliau bukanlah seorang kaya raya tujuh turunan seperti para pengusaha sukses lainnya, dan banyak hal lainnya yang jujur saja membuat iri jama'ah di sana, salah satunya adalah beliau ini mualaf namun tekadnya berdakwah sangat kuat, masya Allah barakallahu fiik.


saat itu, MC jadi tertarik mengulik kehidupan pribadi ustadz hasan, salah satunya tentang pendamping. jadi saat itu ustadz hasan sudah sering mengisi kajian tentang parenting maunpun rumah tangga. namun beliau merasa ada yang kurang pas karena beliau sendiri belum menikah. beliau merasa hanya bisa bicara tanpa aksi nyata. maka saat itu beliau berdoa dengan sepenuh hati meminta pada Allah untuk dipertemukan dengan jodoh secepatnya, siapa saja, yang penting bersedia mengikuti beliau berdakwah di manapun ditempatkan. Dan saat itu datanglah tawaran menikah dengan akhwat yang lebih tua 5 tahun dari beliau. Karena niat menikahnya adalah untuk berdakwah, maka ustadz hasan langsung mengiyakan tawaran itu.

Dari penuturan ustadz hasan, mc mengatakan pada jamaah, “ini dia penyakit pertama seorang ikhwan dalam mencari pasangan: harus yang lebih muda. Ini ustadz hasan dapat yang lebih tua dari beliau 5 tahun saja nggak masalah!”

Lalu saya juga mulai menyambungkan dengan kisah Rasulullah yang menikah dengan Khadijah yang lebih tua dari Beliau, dan Khadijahlah wanita yang sangat beliau sayang, yang memiliki satu-satunya tempat special di hati Rasulullah. Padahal Khadijah bukanlah gadis belia yang menurut banyak pendapat merupakn pilihan yang utama dalam memilih seorang istri.

Dari sini pun saya melihat bahwa ada sesuatu yang sungguh harus diluruskan di masyarakat kita. Mengenai memilih istri. Bukan gadis atau janda, namun memang lihat dari akhlak, ketaqwaan, keimanan kepada Allah, itu yang selamat. Karena banyak yang gadis, lebih muda, namun tidak perawan (kalau mau membicarakan perawan). Banyak yang masih gadis tapi tidak mampu menjaga kehormatannya. Yang dengan mudah dipegang kapan saja, bahkan diajak ‘ngamar’ sama siapa saja, na’udzubillah.

Sementara itu ada banyak sekali wanita yang sudah menikah namun akhirnya berpisah (janda atau saya biasa menyebut re-single) yang justru lebih enjaga kehormatannya. Meski ia sudah pernah merasakan bagaimana sentuhan lelaki, namun tak lantas mengobral diri. Ia masih bisa menjaga kemuliaannya sebagai wanita. Seperti yang Khadijah lakukan hingga ia mendapatkan gelar ath Thahirah (yang mampu menjaga kesuciannya) karena mampu dengan sangat baik menjaga diri dan kesuciannya. Hanya yang berhak menyentuhnyalah yang boleh menyentuhnya. Masya Allah…


Bahkan dalam quran surat at Tahrim:5 Allah menyebutkan kata-kata ‘yang janda dan yang perawan’ sebagai bentuk penjelasan bahwa taka da yang lebih utama di antara keduanya. Karena yang membedakan adalah ketaqwaan di hadapan Allah.
gambar didapat dari sini muslim couple