Minggu, 25 September 2016

Kepingan

Aza terlihat cantik sekali hari ini. Senyum yang tersemat di bibirnya sama persis dengan senyummu, Bang. Mengingatkanku akan senyum yang selalu bisa melelehkan penatku setelah suntuk seharian bekerja. Aza terlihat sangat bahagia menyalami semua orang di hari bahagianya ini. Di sampingnya adalah seorang lelaki yang aku tahu persis pasti akan sangat kau cemburui karena bisa menggandengnya. Bukankah kau yang selalu mengatakan bahwa satu-satunya lelaki yang boleh menggandeng Aza adalah dirimu. Ah, sayang sekali kau keliru.
Mandavela yang melengkung indah menghiasi setiap sudut taman belakang rumah kita. Menemani tetamu yang sedang asik bercengkrama saling melempar senyum dan canda. Di hari ini semua tampak berkilau, terpapar sinaran dari Aza. Sesiapapun yang melihat binar matanya dan lengkung senyumnya akan pula ikut terbawa rasa suka cita yang sama. Ah, Aza, malaikat kecil kita sudah tumbuh menjadi bunga yang mekar di taman hati setiap orang.
Masih aku ingat persis bagaimana dia menangis ketika terjatuh dari sepeda merah mudanya saat pertama kali ia belajar sepeda denganmu, Bang. Aza yang berurai air mata karena lututnya terluka, kau dekap dengan lembut,
“Jangan menangis wahai cahaya mataku. Sakitmu tak akan seberapa dibandingkan dengan apa yang kelak kau dapatkan ketika kau bisa bersepeda. Bepergian, menjelajah bersama angina, membiarkan rambut ikal hitammu dimain-mainkan dengan gelombangnya.”
Dan seketika itu, Aza kembali tersenyum. Senyum yang sama dengan senyummu. Senyum yang sama seperti tujuh tahun lalu, saat ia tidak berhasil mendapatkan posisi yang dia inginkan di kampusnya karena kabar burung yang disebarkan oleh rekannya. Aku juga masih mengingat bagimana Aza kembali merangkai senyum yang telah sirna selama beberpa hari dari wajah mayangnya.
“Jangan menangis wahai cahaya mataku. Meski engkau terjerembab dalam kepiluan, hadapilah kenyataan. Biarlah engkau sebagaimana adanya. Kelak aka nada waktu yang tepat untukmu menunjukkan kemilaumu.”
Dan benar saja, setelah semangat itu terpompa kembali yang dipancarkan di wajah oval hitam manisnya, dua hari kemudian ia membawa kabar bahwa ia menjadi salah satu mahasiswa yang mendapatkan kesempatan short course di Jepang dari kampusnya. Ia berpikir, seandainya kemarin ia mendapatkan posisi yang ia inginkan tak mungkin ia bisa berkonsentrasi pada ujian short course itu.
Ia kembali mendapatkan senyumnya, dan itu karenamu, Bang. Papa nomor satu di dunia! Yang bukan saja mengukir senyum untuk diri sendiri, namun justru mengukir senyum buah hatimu untuk senyummu.
Aza adalah sosok wanita mandiri yang penuh kepercayaan diri. Dan ia mendapatkan itu bukan dariku, Bang, tapi justru darimu. Melalui kedekatanmu dengannya, pengertian-pengertian yang kau berikan. Ia merasakan bahwa dirinya berharga. Bahwa ia diterima. Bahwa ia disayangi. Itu yang membuat dia nyaman dengan dirinya dan pada akhirnya nyaman dengan lingkungannya.
Aza, gadis kecil yang awalnya tertutup karena sering sekali diejek mengenai warna kulitnya, kini tumbuh bagaikan seorang putri yang bersinar. Yang sinarnya mampu memancarkan sinaran lain dari diri orang lain. Meski berkali-kali aku memompakan rasa optimis itu pada Aza, mengingat diriku pun sama sepertinya, ia tetap tak bisa begitu saja menerimanya. Aza menolak keluar dari rumah untuk bermain bersama teman-temannya selama beberpa hari.
Dan kau, lagi-lagi kau, Bang, yang mampu mengantarkannya pada tahtanya. Kau tak banyak berkata, namun memperlihatkan betapa kau mencintaiku. Kau memperlihatkan bahwa penerimaan atas sosok bukanlah karena kulit, namun apa yang ada di dalamnya, hati. Kau mengajarkan hal itu, melalui caramu memperlakukanku, dari caramu menghormatiku, dari caramu membuatku nyaman.
Aza melingkarkan lengannya di lengan kukuh seorang pria yang tampak sangat menyayanginya. Seperti melihatmu memperlakukanku sejak awal pernikahan kita, Bang. Aza begitu nyaman berada di dekat pria sainganmu itu, Bang! Ah, tak bisa dilukiskan seperti apa arti tatapan Aza pada pria itu dan seperti bagaimana pria itu terlihat begitu berbahagia menjadi yang dipercaya oleh Aza sebagai pendampingnya. Tak ada air mata duka di antara mereka, Bang, sama seperti yang selama ini coba kau beri pada Aza.
Kau memang tak selalu membuat Aza tersenyum, namun bukan pula kau membuat Aza bersedih tak menentu. Kau, dengan caramu, mengajari Aza untuk menghargai dirinya. Mengerem keinginannya yang sangat bertolak belakang dengan kebanyakan remaja seuisianya.
Malam itu, ketika Aza dijemput oleh seorang lelaki tak kau kenal. Dengan tatapan tegas dan suara berat, kau meminta Aza masuk ke kamar. Aza tak bisa menerimanya, aku tahu itu. Ia tak melawanmu dengan kata-kata apalagi teriakan, ia hanya meneteskan air mata. Pertama kalinya ia mengalami penolakan yang cukup kerasa darimu. Aku bisa memakluminya.
Lalu hari Minggu tiba, setelah semalamnya penolakan itu ia terima. Kau mendekatinya yang sedang berbaring di hammocknya di halaman belakang. Kau berdehem pelan saat itu, yang ditanggapi dingin oleh Aza. Kikuk di antara kalian. Lalu sebuah lelucon konyol kau luncurkan, membuat Aza susah menahan tawanya,
“Aku masih tetap benci Papa!” ujarnya setelah mati-matian menahan tawa.
Kau terdiam, sambil menyodorkan sebuah bungkusan. Aku sendiri tak tahu kalau kau menyiapkan sesuatu untuknya. Kau memang penuh teka-teki indah, Bang.
Aza terdiam, menerima bingkisan itu dan perlahan membukanya. Sebuah buku harian bersampul kulit coklat, buku yang hingga kini selalu ia bawa ke mana-mana, ‘Serasa ada sama Papa’ begitu katanya suat kali.
“Maaf, kala itu papa membuat senyum orang yang papa cinta mengerucut. Meski papa memohon tapi ternyata aliran waktu begitu cepat, tak bisa berhenti. Mengalir hingga tak berjarak. Anak papa yang tadinya selalu papa gendong ke mana pergi, sekarang sudah menjadi gadis remaja yang punya dunia yang berbeda, yang tidak ada papa di dalamnya. Cukup berat menerima itu, Za. Papa minta maaf jika Aza kurang nyaman dengan sikap papa semalam. Papa hanya ingin Aza tau, Aza berharga. Aza adalah berlian papa, tak mungkin papa memberikannya pada sembarang orang. Hanya orang terpilih yang papa izinkan untuk papa titipkan Aza.”
Panjang sekali percakapan kalian kala itu. Namun selepas hari itu, Aza berubah. Ia tetap dengan sosoknya yang periang, yang tak bisa diam, yang selalu ingin tahu, namun ia jauh lebih melibatkan kita untuk selalu mengetahui apa saja yang ia kerjakan. Bang, kau memang motivator nomor satu, yang menunjukkan cinta bukan hanya melalui kata-kata, namun perbuatan nyata.
Tetamu menyelamati Aza, mendoakan dengan berbagai kebaikan. Aza mengamini satu persatu doa mereka, pun denganku. Aza, cahaya matamu, Bang, tumbuh menjadi gadis penuh pesona. Bukan karena rupa, Bang, namun karena keluasan hatinya yang seperti samudera.
Seperti samudera yang ia seberangi ketika mendapatkan beasiswa masternya di negeri eropa. Dengan penuh air mata Aza memelukmu erat, tergugu ia tak ingin melepaskan pelukan itu. Namun kata-katamu menjadi pemompa semangatnya saat itu, hingga kini.
“Wahai kepingan papa, bagian hidup papa, jadilah tangguh. Kepakkan sayapmu. Jangan kau berpaling kembali. Lintasilah samudera luas. Papa harap beribu cahaya akan menerangimu setiap waktu. Pergilah, Aza, temukan mimpimu di sana, dan persembahkan yang terbaik untuk papa, untuk penciptamu dan papa.”
Ah, air mata ini tidak bisa kubendung, Bang. Kenangan yang meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa mongering. Ingin rasanya mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi dan memelukmu kembali. Bersama putri kita menjalani hidup bersama. Seperti dulu.
Ya, Aza kini sudah menemukan kepingannya yang lain, selain dirimu, selain aku, selain kita. Aza berada di dalam perlindungan seorang lelaki yang tepat, yang dapat membuatnya nyaman, membuatnya lebih baik tanpa merasa takut kehilangan kejatiannya. Seseorang yang juga melihatnya sebagai cahaya matanya. Aza, bunga itu, telah berkemabng sempurna. Persis seperti yang kau katakana ketika kita menemukannya dua puluh lima tahun yang lalu di depan pintu rumah kita.
“Dinda, ini adalah jawaban Tuhan atas siang malam doa kita. Percayalah pada Tuhan, bukan padaku. Tajamkan penglihatanmu! Di sisimu nanti, sekuntum bunga terlahir kembali. Bergoyang di bawah benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan dan bunga itu adalah bayi manis ini, Azalea.”
Dan kau buktikan semua ucapanmu dua puluh lima tahun yang lalu. Kau yang membuat sebuah bunga terlahir kembali. Kau yang menyemai bibit kasih sayang di dalam hamparan tanah lapangnya. Kau yang seorang yatim piatu namun mampu memberikan kasih sayang yang jauh lebih utuh daripada aku yang hidup dalam kehangatan sebuah keluarga.
Akan selalu kujaga Aza untukmu, untuk Pencipta kita. Terimakasaih sudah menjadi perpanjangan tangan Tuhan untuk mengajariku semua hal indah dalam kehidupan ini, Bang.
Watashi no kakera yo…

~Windy, 260916~

Ps: untuk kepingan bunda, Ozora, selamat hari lahir, nak.. berbahagialah dalam hidupmu bersama penjagaan terbaik Rabbmu untukmu dan orang-orang yang mencitaimu. Barakallahu fii umrik, shalih…




Saya menulis cerita ini terinspirasi dari lirik lagu grup band Jepang, L’arc en Ciel yang judulnya Pieces. Lagu ini sangat manis. Konon diciptakan oleh Hyde (sang vokalis) sambil membayangkan anak perempuannya kelak menikah dan meninggalkannya. Video klipnya ternyat cukup menguras air mata, tapi sayang saya tidak bida mendapatkan yang utuh, hanya potongan video klipnya saja.

Di bawah ini ada lirik lagu Pieces berikut artinya dalam bahasa Indonesia.

Pieces by L’Arc~en~Ciel

nakanaide nakanaide taisetsu na hitomi yo  
kanashi sa ni tsumatsu itemo shinjitsu wo mite itene  
sono mama no anata de ite
Jangan menangis, jangan menangis wahai cahaya mataku
Meski kau terjerembab dalam kepiluan, hadapilah kenyataan
biarlah engkau tetap sebagaimana adanya

daisuki na sono egao kumorasete gomen ne  
inottemo toki no nagare hayasugite  
tooku made nagasareta kara modorenakute  
Maaf, kala itu kubuat senyummu yang kucinta mengerucut
Meski kumohonkan, tetapi aliran waktu begitu cepat
tak bisa terhenti, mengalir hingga jauh tak berjarak
                                                  
aa odayaka na kagayaki ni irodorare  
saigetsu ha yoru wo yume ni kaerumitai dakara  
Ah, diwarnai damainya cahaya gemerlap
karenanya kuingin mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi

me wo korashite saa! 
anata no sugu soba ni mata atarashii hana ga umarete  
komorebi no naka de azayaka ni yureteru  
Tajamkan penglihatanmu!
Di sisimu nanti, sekuntum bunga terlahir kembali
Bergoyang di bawah benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan

itsumademo mimamotte agetai kedo  
mou daijyoubu yasashii sono te wo
matteru hito ga irukara  kao wo agete  
Meski kuingin mempertahankanmu hingga kapanpun
kini kupahami seseorang telah menanti
'tuk menggenggam tanganmu dengan lembut
tengadahkan wajahmu!

ne toii hi ni koi wo shita ano hito mo  
urarakana kono kisetsu wo aisuru hito to ima  
kanjiteru ka na?  
akankah dia yang kukasihi sekian waktu lalu
kini, bersama kekasih barunya
merasakan cerahnya musimku?

aa watashi no kakera yo  
chikara tsuyoku habataite yuke  
furikaeranaide hiroi umi wo koete  
takusan no hikari ga itsumo hi ni mo arimasu youni  
anata ga iru kara kono inochi ha eien ni tsudzuite yuku  
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh, kepakkan sayapmu
jangan kau berpaling kembali, lintasilah  samudera luas
kuharap beribu cahaya akan menerangimu setiap waktu
karena kau ada di sini, hidupku pun berlanjut dalam keabadian
                                     
aa ryoute ni afuresouna  
omoidetachi karenai you ni  
yukkuri ashita wo atsumete yuku kara  
Ah… kenangan yang meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa mengering
karenanya rangkumlah esok yang tiba dengan lambat
                      
watashi no kakera yo  
chikara tsuyoku habataite yuke  
furikaeranide hiroi umi wo koete! 
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh, kepakkan sayapmu

jangan berpaling kembali, lintasilah samudera luas!

saya dapat terjemahannya dari larukupedia
kalau ada yang penasaran dengn lagunya silakan klik link berikut: Pieces

mohon maaf kalau banyak kesalahan kata atau nggak nyambung.. nulisnya cuma satu jam dan pake acara ngantuk pula heheheh... demi oz, kepingan bunda ^.^

Selasa, 28 Juni 2016

Menata Hati

(lanjutan dari sini: Ketika Saya Harus Menerima

Sebagai seorang wanita, istri, yang normal, saya masih berusaha mempertahankan keutuhan rumah tangga saya. Saya masih mencoba berbicara pada ayahnya anak-anak, berdiskusi, mengajaknya berpikir ulang mengenai keinginannya. Bahwa masih banyak mimpi2 kami yang belumlah terwujud, yang belum kami hamparkan dalam bait-bait rencana kehidupan, bahkan. Namun seperti kuda yang memakai kaca mata, ia bergeming,  menatap lurus ke depan: rencana poligaminya.

Feeling lagi-lagi bermain, dasar wanita..
ya, perasaan saya tidak mengizinkan ini terjadi begitu saja. Saya rasa, jikalau memang fase kehidupan seperti ini yang harus saya jalani, saya tidak ingin main-main. Saya ingin poligami yang benar, sesuai syariat: mengandung keberkahan. Meski saat itu jujur saja saya masih sangat tidak ingin ini terjadi.
Bersembunyi dalam alasan klise, 'wanita mana sih yang mau dimadu?'

Saya masih saja terus menangis. Sejuta pertanyaan berputar-putar di dalam pikiran saya: apa kurangnya saya, kenapa saya yang harus mendapat ujian ini, apa salah saya, kenapa harus keluarga kami, kenapa harus suami saya yang meminta poligami, apa yang tidak saya miliki, dan apa-apa lainnya terus saja terlontar seperti tak ada habisnya. Dan itu menguras emosi dan tenaga saya.

Selama beberapa hari saya mencoba untuk mengajaknya berbicara hati ke hati. Memohon padanya untuk tidak melanjutkan niatan poligaminya. namun kembali ia bergeming. ia berkata bahwa niat poligaminya mulia, menolong seorang janda beranak dua yang anak-anaknya ditelantarkan oleh ayah kandungnya, yang anaknya ada yang salah satunya berkebutuhan khusus, yang dia ingin sekali dipandang mulia di hadapan Allah.

semua seperti ada jawabannya:
menolong janda yang bagaimana? toh janda ini kaya raya, pengusaha apotik, bidan di salah satu puskesmas di sumedang, punya praktek bidan sendiri, dosen pula, ditolong di bagian mana? kalaupun memang ingin menolongnya mencarikan imam, kenapa tidak mencarikan pria lain yang available, yang single. memang setidaklaku itukah si janda ini sampai harus menjadikan suami orang sebagai imamnya?
anak-anaknya ditelantarkan oleh ayah kandungnya? masa iya? sevalid apa informasi itu? sudah ditelusuri sampai sejauh apa hingga berani mengambil kesimpulan seperti ini? sudah pernah bertemu ayahnya langsung dan berdiskusi mengapa ia 'menelantarkan' anak-anaknya? jangan-jangan ini hanya katanya saja. as we know, orang berpisah memang memiliki kisah yang akan berbeda bila diceritakan: versi mantan istri dan mantan suami. maka kenapa tidak validasi dulu?
mengasuh anak kebutuhan khusus agar dinilai mulia di mata Allah? tidak ada yang salah sama sekali, niat mulia. namun mengapa tidak dimulai dari anak sendiri dulu? memberikan waktu lebih banyak untuk anak-anak alih-alih sibuk organisasi sampai weekend pun sering sekali tak ada di rumah? sampai pulang pun selalu larut malam? sampai anak tidak ada yang mengajak muroja'ah hafalan-hafalan al qur'annya? bagaimanalah bisa dengan baik dan amanah mengasuh anak orang lain sementara anak sendiri masih sering meminta haknya, dan ia sendiri meminta bantuan saya untuk ikut mengasuh anak spesial itu dengan alasan saya jauhlebih mengerti tentang parenting dibandingkan dirinya dan si calon istrinya nanti. lho, maksudnya saya harus apa? menjadi baby sitternya atau gimana? maaf saya sangat susah berbaik sangka saat kaliamat terakhir itu terucap dari mulutnya.

semua masih berputar tak karuan. membuat saya dan juga ia lelah, sangat lelah. anak-anak terlunta-lunta. ia selalu meminta waktu saya untuk berdiskusi empat mata dengannya. sementara anak-anak dia titipkan pada ibu dan bapak saya.
kami berkeliling ke ustadz dan ustadzah serta orang-orang yang mengerti dan menjalani poligami. banyak seklai pemikiran saat itu.
saya sendiri tak kuat saat itu hingga sempat ingin mengakhiri hidup dengan meminum banyak sekali obat, hingga keracunan obat-obatan, semoga Allah mengampuni saya. sungguh, itu adalah kejahiliyahan saya, astaghfirullah...

sang imam tetap bergeming. mengatakan saya bukan makmum yang taat jika saya tak mengizinkannya berpoligami.
saya meradang. ya, lelaki adalah pemimpin dalam rumah tangga, namun bukankah diskusi juga diperbolehkan?
namun pendapatnya, jika mengalami jalan buntu dari diskusi tersebut, maka imam memiliki hak prerogatif untuk memutuskan meski sepihak.
saya tahu saya masih punya hak, hak sebagai seorang wanita dalam rumah tangga: khuluk.

(selanjutnya Perjalanan Mencari Arti Poligami)

Jumat, 24 Juni 2016

Ketika Saya Harus Menerima

sebetulnya saya tidak tahu apa yang hendak saya katakan dalam postingan kali ini. otak saya penuh dengan berbagai hal yang berputar dan sepertinya harus dikeluarkan. tentang rangkaian ujian selama 4 bulan ini.
rangkaian jalan hidup yang benar-benar ekstrim, up and down. seperti roller coaster hidup saya selama 4 bulan ini. kadang berlari cepat ke atas, kemudian menukik tajam ke bawah. kalau bukan karena pertolongan Allah, mungkin saya sudah tidak akan bisa menuliskan apapun di blog ini lagi. mungkin saya sudah entah di mana, paling baik, nasib saya berakhir di panti rehabilitasi kejiwaan.

saya rasa saya tidak sedang berlebihan manakala saya menuliskan kalimat terakhir saya. saya memang sempat di ambang batas antara kewarasan dan kegilaan. bukan sekadar kata 'gila' seperti apa yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk menyebutkan 'seru' atau 'menarik' atau 'keren'. tapi kegilaan di sini memang benar-benar leterlijk alias secara arti benar-benar gila, tidak waras.

awal januari tahun 2016 ini saya masih menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia. dengan seorang suami yang baik, memanjakan, perhatian. ya, kehidupan rumah tangga kami memang tidak mulus. ujian dan cobaan datang silih berganti. namun semuanya selalu terlewati dan kami kembali bersama sebagai sebuah keluarga yang utuh.
meski seperti ada bekas-bekas luka, namun sepertinya masih sewajarnya. bukan, bukan maksud saya mewajarkan 'luka-luka' yang terjadi dalam rumah tangga saya. yang saya wajarkan adalah, dalam hidup ini tidak semua berjalan mulus sesuai kemauan kita dan rencana2 kita. maka saya bilang adalah sebuah kewajaran bagi saya mendapatkan luka di dalam rumah tangga saya.
dan ya, januari tahun ini saya dan ayahnya anak-anak masih berpasangan sebagai suami istri yang awet rajet kalau kata orang sunda. tapi kami tahu bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain dan saling nyaman, setidaknya dua hal itu yang selalu ayahnya anak-anak katakan pada saya secara sadar.

dua hari menjelang anniversary kami yang ke-9 tahun, saya semakin kuat melihat sesuatu yang tidak biasa pada hubungan kami, pada ayahnya anak-anak.
saya mengenalnya sudah cukup lama. meski saya tidak terlalu baik bersikap dan menyikapi, tapi saya hafal seperti apa suami saya saat itu. dan saya menangkap bahwa ada sesuatu yang sebetulnya hendak ia sampaikan namun masih ragu.
tengah malam, di sebuah villa di jogja, ketika kami sedang berlibur sekeluarga, saya mengajaknya berbicara empat mata. dan ya, feeling saya benar. jangan pernah meremehkan feeling seorang wanita, karena feeling mereka yang kuat sebagian besar adalah bentuk penjagaan Tuhan untuk pasangan dan anak-anak mereka :)

saat itu ayahnya anak-anak bercerita bahwa ia tengah dekat dengan seseorang dan ingin menjadikannya lebih. menjadi bagian dari keluarga kami.
saya tidak akan keberatan manakala seseorang itu adalah seorang anak yatim piatu, yang ayahnya anak-anak tergerak untuk membiayai, misalnya.
namun tidak. seseorang ini adalah rekannya di sebuah organisasi para pengusaha muda. seorang wanita, pengusaha, pns, pengajar.

bumi berputar tiba-tiba. saya menangis sejadi-jadinya.
Rabb, apalagi yang Engkau berikan ini? tidak cukupkah semua drama selama ini?
masih kurangkah saya dan ia melewati segala uji selama 5 tahun terakhir ini?
dengan orang-orang yang berbeda? dengan reaksi yang berbeda? dengan kisah yang berbeda? dengan keluarga yang berbeda-beda?

saya limbung. hati saya mencelos. saya berharap itu hanya mimpi, di mana ketika saya memejamkan mata dan kelak membukanya kembali, saya sudah kembali berada di rumah kami yang nyaman dengan dia sebagi suami saya yang seperti biasanya dan ada tawa ketiga anak saya, seperti biasanya.
namun saya akhirnya menyadari bahwa ini bukan mimpi. saya sadar ketika saya melihat anak-anak yang tertidur pulas dengan erut yang naik turun karena dengkuran lembut nafas mereka. saya sadar ini bukan mimpi ketika saya merasakan hangatnya tetesan-tetesan air mata saya. saya sadar ssepenuhnya bahwa saya berada di dunia nyata ketika saya mengambil wudhu di kamar mandi, airnya dingin menyentuh kulit saya. dan yang akhirnya paling saya sadari adalah luka hati saya.

malam itu saya habiskan dengan bertemankan air mata hingga pagi. ya, saya tidak terpejam sama sekali saat itu. saya seperti orang yang baru kena hipnotis: bergerak tanpa sadar dan kontrol diri. saat itu yang mengontrol diri saya adalah kesedihan saya.

(next: Menata Hati)

Selasa, 12 April 2016

Ketika Kau hendak Poligami, Duhai Para Imam

Sungguh saya bukan seseorang yang mumpuni dalam bidang ini. saya hanya seorang wanita yang mencoba melihat poligami dari sudut pandang wanita, terkhusus istri pertama.

Saya sedang tak hendak mengingkari poligami. karena pada akhirnya saya menyadari bahwa di balik semua aturan Allah, tersembunyi (bahkan memang terang sekali) kebaikan-kebaikan yang ada. Meski kadang kita tak bisa langsung memahami dan menyadarinya.

Awalnya saya adalah seorang istri yang mengimani poligami karena memang diperbolehkan dalam Islam, namun saya tetap tak mau dipoligami. hingga akhirnya jalan Allah membawa saya pada sebuah ujian di mana mata dan hati saya terbuka untuk sebuah hal yang sangat ditakuti para wanita (menikah maupun belum) yaitu: poligami.

Dalam masa itu, saya banyak sekali berdiskusi tentang poligami dengan berbagai macam orang dengan berbagai macam latar belakang. mulai dari ustadz, ustadzah, lelaki yang berpoligami, anak-anak dari keluarga poligami, bahkan para wanita yang menjalani poligami di dalam hidupnya.
Dari banyak sekali diskusi itu, pikiran saya teraduk-aduk jadi satu. terhenyak, terhentak, sadar, miris, ah benar-benar campur aduk. Dan dengan semua pengalaman saya sebelumnya, saya bisa mengambil banyak sekali pelajaran dari semua hal ini.

Untuk para suami, mengertilah, poligami bagi kebanyakan wanita adalah hal yang sangat ditakuti atau paling tidak sangat mereka hindari dari kehidupan rumah tangga mereka. maka ketika kalian hendak menikah lagi, ingin berpoligami, mohon renungkan hal ini...
Apa yang akan dipikirkan dan terjadi oleh istri saya ketika saya memutuskan ingin berpoligami?
ketika kalian meminta istri untuk berlapang dada menerima keputusan kalian, apakah kalian juga mampu berlapang dada menjaga perasaan istri kalian saat pra, proses, dan polgami dijalankan? dan itu bukan sehari dua hari, namun seumur hidup. karena poligami kalian bukan cuma sehari dua hari kan?

jika kalian benar-benar sudah matang memutuskan berpoligami, saran saya:
1. kondisikan istri dan anak-anak dengan baik. dengan cara yang baik. dengan niat yang baik. didik istri dan anak-anak untuk memahami kenapa perlu memperluas tim di keluarga kalian. mau dibawa ke mana tim ini nantinya?
2. setelah itu, ajak istri untuk sama-sama menilai dan mempelajari siapakah wanita yang kelak menjadi orang kepercayaannya untuk sama-sama mengurus sang imam dan berbagi tugas dalam tim besar nanti. gali potensi yang bisa bikin istri dan calon partnernya nanti agar bisa ada chemistry dan klik di antara mereka. seorang imam yang baik tidak hanya mendahulukan diri dan egonya, apalagi syahwatnya, dia akan lebih mendahulukan kesejahteraan anggota keluarganya terutama istrinya dan yang pasti mendahulukan keberkahan yang ada dalam keluarga.
3. setelah istri bisa menerima dan terbuka, ajak bersilaturahim dengan calon partnernya. agar mereka saling mengenal, agar bisa saling memahami. biarkan mereka berdua duduk bersama untuk berbincang antar wanita. karena saat itu, lelaki tak akan memahami situasi yang ada, percayalah.
4. jangan bebankan istri dengan tetek bengek urusan administrasi. kalian yang mau menikah, maka kalianlah yang patut repot dengan semua masalah administrasi. bukankah istri sudah cukup lelah mengelola hatinya? bukankah kelak ia juga akan dipanggil ke pengadilan untuk bersaksi bahwa ia memang ikhlas menerima poligami sang suami? bukankah itu sudah sangat besar pengorbanannya? sudah cukup menyita hatinya dengan gundah gulana.. :)
5. bersikaplah adil pada keduanya. kantor pusat alias istri pertama butuh pendampingan dalam mengatasi luka hati yang pasti terjadi. ia butuh kehadiran suaminya untuk memastikan bahwa ia memang tak tergantikan oleh siapapun. bersikap, berempati, dan memang perlihatkanlah bahwa ia memang memiliki tempat khusus di dalam hati suaminya, dan tempat itu tak akan bisa digantikan oleh siapapun.
dan untuk kantor cabag alias istri kedua. didiklah dengan baik untuk bisa bersikap di dalam keluarga. bahwa mungkin ia akan menghadapi beberapa hal yang tak mengenakannya, bahwa ia harus siap dengan segala macam gelombang yang mungkin ada di awal. namun yakinkan bahwa suami tetap ada untuknya melewati masa-masa itu. didiklah ia untuk menghormati dan menyayangi istri pertama, karena istri pertama sudah mau memberikan sebagian kenikmatannya untuk ikut dinikmati oleh wanita lain.
6. tetap jaga keberkahan pernikahan dengan tidak berkhalwat dengan calon istri kedua (baik di ruang publik maupun prbadi seperti media sosial) sebelum kalian menikahi wanita kedua. pun untuk wanita calon istri kedua, jagalah sikap dan harga dirimu untuk tidak mengizinkan lelaki yang bukan mahrommu membawamu ke mana ia suka, apa bedanya kau dengan wanita penggoda jika kau mengizinkan lelaki yang bukan mahrom itu bertindak sesukanya atasmu?
7. khusus untuk suami: berusalah dalam pekerjaan dengan jauh lebih tekun, agar dapur di dalam keluarga besar ini tetap mengebul, jangan sampai apa yang biasa dinikmati oleh keluarga sebelumnya jadi berkurang dengan hal ini, karena sejatinya poligami menyejahterakan semua, bukan salah satu atau dua orang.
perbaiki hubungan dengan Allah terus menerus, karena seorang suami yang tidak adil sangat dekat dengan neraka. mohonlah bimbingan dalam mendidik para istri dan anak-anak agar bisa menjadi pemberat amalan baik di yaumil akhir.

sekadar sharing. agar bisa tergambar dengan lebih baik dan jelas bagaimana sebetulnya hidup berpoligami. jangan hanya bisa melihat nikmatnya saja, namun terlupa amanah yang sangat besar dan dahsyat di depan sana.

sekali lagi ini bukan tentang agama, namun hanya berdasarkan sudut pandang seorang wanita. saya tak membenci poligami, namun sungguh mulia jika seorang suami bisa memuliakan istrinya dalam berbagai hal termasuk permasalahan ini.