Jumat, 24 Juni 2016

Ketika Saya Harus Menerima

sebetulnya saya tidak tahu apa yang hendak saya katakan dalam postingan kali ini. otak saya penuh dengan berbagai hal yang berputar dan sepertinya harus dikeluarkan. tentang rangkaian ujian selama 4 bulan ini.
rangkaian jalan hidup yang benar-benar ekstrim, up and down. seperti roller coaster hidup saya selama 4 bulan ini. kadang berlari cepat ke atas, kemudian menukik tajam ke bawah. kalau bukan karena pertolongan Allah, mungkin saya sudah tidak akan bisa menuliskan apapun di blog ini lagi. mungkin saya sudah entah di mana, paling baik, nasib saya berakhir di panti rehabilitasi kejiwaan.

saya rasa saya tidak sedang berlebihan manakala saya menuliskan kalimat terakhir saya. saya memang sempat di ambang batas antara kewarasan dan kegilaan. bukan sekadar kata 'gila' seperti apa yang biasa digunakan oleh orang-orang untuk menyebutkan 'seru' atau 'menarik' atau 'keren'. tapi kegilaan di sini memang benar-benar leterlijk alias secara arti benar-benar gila, tidak waras.

awal januari tahun 2016 ini saya masih menjadi seorang istri dan ibu yang bahagia. dengan seorang suami yang baik, memanjakan, perhatian. ya, kehidupan rumah tangga kami memang tidak mulus. ujian dan cobaan datang silih berganti. namun semuanya selalu terlewati dan kami kembali bersama sebagai sebuah keluarga yang utuh.
meski seperti ada bekas-bekas luka, namun sepertinya masih sewajarnya. bukan, bukan maksud saya mewajarkan 'luka-luka' yang terjadi dalam rumah tangga saya. yang saya wajarkan adalah, dalam hidup ini tidak semua berjalan mulus sesuai kemauan kita dan rencana2 kita. maka saya bilang adalah sebuah kewajaran bagi saya mendapatkan luka di dalam rumah tangga saya.
dan ya, januari tahun ini saya dan ayahnya anak-anak masih berpasangan sebagai suami istri yang awet rajet kalau kata orang sunda. tapi kami tahu bahwa kami saling membutuhkan satu sama lain dan saling nyaman, setidaknya dua hal itu yang selalu ayahnya anak-anak katakan pada saya secara sadar.

dua hari menjelang anniversary kami yang ke-9 tahun, saya semakin kuat melihat sesuatu yang tidak biasa pada hubungan kami, pada ayahnya anak-anak.
saya mengenalnya sudah cukup lama. meski saya tidak terlalu baik bersikap dan menyikapi, tapi saya hafal seperti apa suami saya saat itu. dan saya menangkap bahwa ada sesuatu yang sebetulnya hendak ia sampaikan namun masih ragu.
tengah malam, di sebuah villa di jogja, ketika kami sedang berlibur sekeluarga, saya mengajaknya berbicara empat mata. dan ya, feeling saya benar. jangan pernah meremehkan feeling seorang wanita, karena feeling mereka yang kuat sebagian besar adalah bentuk penjagaan Tuhan untuk pasangan dan anak-anak mereka :)

saat itu ayahnya anak-anak bercerita bahwa ia tengah dekat dengan seseorang dan ingin menjadikannya lebih. menjadi bagian dari keluarga kami.
saya tidak akan keberatan manakala seseorang itu adalah seorang anak yatim piatu, yang ayahnya anak-anak tergerak untuk membiayai, misalnya.
namun tidak. seseorang ini adalah rekannya di sebuah organisasi para pengusaha muda. seorang wanita, pengusaha, pns, pengajar.

bumi berputar tiba-tiba. saya menangis sejadi-jadinya.
Rabb, apalagi yang Engkau berikan ini? tidak cukupkah semua drama selama ini?
masih kurangkah saya dan ia melewati segala uji selama 5 tahun terakhir ini?
dengan orang-orang yang berbeda? dengan reaksi yang berbeda? dengan kisah yang berbeda? dengan keluarga yang berbeda-beda?

saya limbung. hati saya mencelos. saya berharap itu hanya mimpi, di mana ketika saya memejamkan mata dan kelak membukanya kembali, saya sudah kembali berada di rumah kami yang nyaman dengan dia sebagi suami saya yang seperti biasanya dan ada tawa ketiga anak saya, seperti biasanya.
namun saya akhirnya menyadari bahwa ini bukan mimpi. saya sadar ketika saya melihat anak-anak yang tertidur pulas dengan erut yang naik turun karena dengkuran lembut nafas mereka. saya sadar ini bukan mimpi ketika saya merasakan hangatnya tetesan-tetesan air mata saya. saya sadar ssepenuhnya bahwa saya berada di dunia nyata ketika saya mengambil wudhu di kamar mandi, airnya dingin menyentuh kulit saya. dan yang akhirnya paling saya sadari adalah luka hati saya.

malam itu saya habiskan dengan bertemankan air mata hingga pagi. ya, saya tidak terpejam sama sekali saat itu. saya seperti orang yang baru kena hipnotis: bergerak tanpa sadar dan kontrol diri. saat itu yang mengontrol diri saya adalah kesedihan saya.

(next: Menata Hati)

2 komentar: