Aza terlihat cantik
sekali hari ini. Senyum yang tersemat di bibirnya sama persis dengan senyummu,
Bang. Mengingatkanku akan senyum yang selalu bisa melelehkan penatku setelah
suntuk seharian bekerja. Aza terlihat sangat bahagia menyalami semua orang di
hari bahagianya ini. Di sampingnya adalah seorang lelaki yang aku tahu persis
pasti akan sangat kau cemburui karena bisa menggandengnya. Bukankah kau yang
selalu mengatakan bahwa satu-satunya lelaki yang boleh menggandeng Aza adalah
dirimu. Ah, sayang sekali kau keliru.
Mandavela yang
melengkung indah menghiasi setiap sudut taman belakang rumah kita. Menemani tetamu
yang sedang asik bercengkrama saling melempar senyum dan canda. Di hari ini
semua tampak berkilau, terpapar sinaran dari Aza. Sesiapapun yang melihat binar
matanya dan lengkung senyumnya akan pula ikut terbawa rasa suka cita yang sama.
Ah, Aza, malaikat kecil kita sudah tumbuh menjadi bunga yang mekar di taman
hati setiap orang.
Masih aku ingat persis
bagaimana dia menangis ketika terjatuh dari sepeda merah mudanya saat pertama
kali ia belajar sepeda denganmu, Bang. Aza yang berurai air mata karena
lututnya terluka, kau dekap dengan lembut,
“Jangan menangis wahai
cahaya mataku. Sakitmu tak akan seberapa dibandingkan dengan apa yang kelak kau
dapatkan ketika kau bisa bersepeda. Bepergian, menjelajah bersama angina,
membiarkan rambut ikal hitammu dimain-mainkan dengan gelombangnya.”
Dan seketika itu, Aza
kembali tersenyum. Senyum yang sama dengan senyummu. Senyum yang sama seperti
tujuh tahun lalu, saat ia tidak berhasil mendapatkan posisi yang dia inginkan
di kampusnya karena kabar burung yang disebarkan oleh rekannya. Aku juga masih
mengingat bagimana Aza kembali merangkai senyum yang telah sirna selama beberpa
hari dari wajah mayangnya.
“Jangan menangis wahai
cahaya mataku. Meski engkau terjerembab dalam kepiluan, hadapilah kenyataan. Biarlah
engkau sebagaimana adanya. Kelak aka nada waktu yang tepat untukmu menunjukkan
kemilaumu.”
Dan benar saja, setelah
semangat itu terpompa kembali yang dipancarkan di wajah oval hitam manisnya,
dua hari kemudian ia membawa kabar bahwa ia menjadi salah satu mahasiswa yang
mendapatkan kesempatan short course di Jepang dari kampusnya. Ia berpikir,
seandainya kemarin ia mendapatkan posisi yang ia inginkan tak mungkin ia bisa
berkonsentrasi pada ujian short course itu.
Ia kembali mendapatkan
senyumnya, dan itu karenamu, Bang. Papa nomor satu di dunia! Yang bukan saja
mengukir senyum untuk diri sendiri, namun justru mengukir senyum buah hatimu
untuk senyummu.
Aza adalah sosok wanita
mandiri yang penuh kepercayaan diri. Dan ia mendapatkan itu bukan dariku, Bang,
tapi justru darimu. Melalui kedekatanmu dengannya, pengertian-pengertian yang
kau berikan. Ia merasakan bahwa dirinya berharga. Bahwa ia diterima. Bahwa ia
disayangi. Itu yang membuat dia nyaman dengan dirinya dan pada akhirnya nyaman
dengan lingkungannya.
Aza, gadis kecil yang
awalnya tertutup karena sering sekali diejek mengenai warna kulitnya, kini
tumbuh bagaikan seorang putri yang bersinar. Yang sinarnya mampu memancarkan
sinaran lain dari diri orang lain. Meski berkali-kali aku memompakan rasa
optimis itu pada Aza, mengingat diriku pun sama sepertinya, ia tetap tak bisa
begitu saja menerimanya. Aza menolak keluar dari rumah untuk bermain bersama
teman-temannya selama beberpa hari.
Dan kau, lagi-lagi kau,
Bang, yang mampu mengantarkannya pada tahtanya. Kau tak banyak berkata, namun
memperlihatkan betapa kau mencintaiku. Kau memperlihatkan bahwa penerimaan atas
sosok bukanlah karena kulit, namun apa yang ada di dalamnya, hati. Kau mengajarkan
hal itu, melalui caramu memperlakukanku, dari caramu menghormatiku, dari caramu
membuatku nyaman.
Aza melingkarkan
lengannya di lengan kukuh seorang pria yang tampak sangat menyayanginya. Seperti
melihatmu memperlakukanku sejak awal pernikahan kita, Bang. Aza begitu nyaman
berada di dekat pria sainganmu itu, Bang! Ah, tak bisa dilukiskan seperti apa arti
tatapan Aza pada pria itu dan seperti bagaimana pria itu terlihat begitu berbahagia
menjadi yang dipercaya oleh Aza sebagai pendampingnya. Tak ada air mata duka di
antara mereka, Bang, sama seperti yang selama ini coba kau beri pada Aza.
Kau memang tak selalu membuat
Aza tersenyum, namun bukan pula kau membuat Aza bersedih tak menentu. Kau,
dengan caramu, mengajari Aza untuk menghargai dirinya. Mengerem keinginannya
yang sangat bertolak belakang dengan kebanyakan remaja seuisianya.
Malam itu, ketika Aza
dijemput oleh seorang lelaki tak kau kenal. Dengan tatapan tegas dan suara
berat, kau meminta Aza masuk ke kamar. Aza tak bisa menerimanya, aku tahu itu. Ia
tak melawanmu dengan kata-kata apalagi teriakan, ia hanya meneteskan air mata. Pertama
kalinya ia mengalami penolakan yang cukup kerasa darimu. Aku bisa memakluminya.
Lalu hari Minggu tiba,
setelah semalamnya penolakan itu ia terima. Kau mendekatinya yang sedang
berbaring di hammocknya di halaman belakang. Kau berdehem pelan saat itu, yang
ditanggapi dingin oleh Aza. Kikuk di antara kalian. Lalu sebuah lelucon konyol
kau luncurkan, membuat Aza susah menahan tawanya,
“Aku masih tetap benci
Papa!” ujarnya setelah mati-matian menahan tawa.
Kau terdiam, sambil
menyodorkan sebuah bungkusan. Aku sendiri tak tahu kalau kau menyiapkan sesuatu
untuknya. Kau memang penuh teka-teki indah, Bang.
Aza terdiam, menerima
bingkisan itu dan perlahan membukanya. Sebuah buku harian bersampul kulit
coklat, buku yang hingga kini selalu ia bawa ke mana-mana, ‘Serasa ada sama
Papa’ begitu katanya suat kali.
“Maaf, kala itu papa
membuat senyum orang yang papa cinta mengerucut. Meski papa memohon tapi
ternyata aliran waktu begitu cepat, tak bisa berhenti. Mengalir hingga tak
berjarak. Anak papa yang tadinya selalu papa gendong ke mana pergi, sekarang
sudah menjadi gadis remaja yang punya dunia yang berbeda, yang tidak ada papa
di dalamnya. Cukup berat menerima itu, Za. Papa minta maaf jika Aza kurang
nyaman dengan sikap papa semalam. Papa hanya ingin Aza tau, Aza berharga. Aza adalah
berlian papa, tak mungkin papa memberikannya pada sembarang orang. Hanya orang
terpilih yang papa izinkan untuk papa titipkan Aza.”
Panjang sekali
percakapan kalian kala itu. Namun selepas hari itu, Aza berubah. Ia tetap
dengan sosoknya yang periang, yang tak bisa diam, yang selalu ingin tahu, namun
ia jauh lebih melibatkan kita untuk selalu mengetahui apa saja yang ia
kerjakan. Bang, kau memang motivator nomor satu, yang menunjukkan cinta bukan
hanya melalui kata-kata, namun perbuatan nyata.
Tetamu menyelamati Aza,
mendoakan dengan berbagai kebaikan. Aza mengamini satu persatu doa mereka, pun
denganku. Aza, cahaya matamu, Bang, tumbuh menjadi gadis penuh pesona. Bukan karena
rupa, Bang, namun karena keluasan hatinya yang seperti samudera.
Seperti samudera yang
ia seberangi ketika mendapatkan beasiswa masternya di negeri eropa. Dengan penuh
air mata Aza memelukmu erat, tergugu ia tak ingin melepaskan pelukan itu. Namun
kata-katamu menjadi pemompa semangatnya saat itu, hingga kini.
“Wahai kepingan papa,
bagian hidup papa, jadilah tangguh. Kepakkan sayapmu. Jangan kau berpaling
kembali. Lintasilah samudera luas. Papa harap beribu cahaya akan menerangimu
setiap waktu. Pergilah, Aza, temukan mimpimu di sana, dan persembahkan yang
terbaik untuk papa, untuk penciptamu dan papa.”
Ah, air mata ini tidak
bisa kubendung, Bang. Kenangan yang meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa mongering.
Ingin rasanya mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi dan memelukmu
kembali. Bersama putri kita menjalani hidup bersama. Seperti dulu.
Ya, Aza kini sudah
menemukan kepingannya yang lain, selain dirimu, selain aku, selain kita. Aza berada
di dalam perlindungan seorang lelaki yang tepat, yang dapat membuatnya nyaman,
membuatnya lebih baik tanpa merasa takut kehilangan kejatiannya. Seseorang yang
juga melihatnya sebagai cahaya matanya. Aza, bunga itu, telah berkemabng
sempurna. Persis seperti yang kau katakana ketika kita menemukannya dua puluh
lima tahun yang lalu di depan pintu rumah kita.
“Dinda, ini adalah
jawaban Tuhan atas siang malam doa kita. Percayalah pada Tuhan, bukan padaku. Tajamkan
penglihatanmu! Di sisimu nanti, sekuntum bunga terlahir kembali. Bergoyang di
bawah benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan dan bunga itu adalah bayi
manis ini, Azalea.”
Dan kau buktikan semua
ucapanmu dua puluh lima tahun yang lalu. Kau yang membuat sebuah bunga terlahir
kembali. Kau yang menyemai bibit kasih sayang di dalam hamparan tanah
lapangnya. Kau yang seorang yatim piatu namun mampu memberikan kasih sayang yang
jauh lebih utuh daripada aku yang hidup dalam kehangatan sebuah keluarga.
Akan selalu kujaga Aza
untukmu, untuk Pencipta kita. Terimakasaih sudah menjadi perpanjangan tangan
Tuhan untuk mengajariku semua hal indah dalam kehidupan ini, Bang.
Watashi no kakera yo…
~Windy, 260916~
Ps: untuk kepingan
bunda, Ozora, selamat hari lahir, nak.. berbahagialah dalam hidupmu bersama
penjagaan terbaik Rabbmu untukmu dan orang-orang yang mencitaimu. Barakallahu fii
umrik, shalih…
Saya menulis cerita ini terinspirasi
dari lirik lagu grup band Jepang, L’arc en Ciel yang judulnya Pieces. Lagu ini
sangat manis. Konon diciptakan oleh Hyde (sang vokalis) sambil membayangkan
anak perempuannya kelak menikah dan meninggalkannya. Video klipnya ternyat
cukup menguras air mata, tapi sayang saya tidak bida mendapatkan yang utuh,
hanya potongan video klipnya saja.
Di bawah ini ada lirik lagu Pieces
berikut artinya dalam bahasa Indonesia.
Pieces by L’Arc~en~Ciel
nakanaide nakanaide
taisetsu na hitomi yo
kanashi sa ni tsumatsu
itemo shinjitsu wo mite itene
sono mama no anata de
ite
Jangan menangis, jangan
menangis wahai cahaya mataku
Meski kau terjerembab
dalam kepiluan, hadapilah kenyataan
biarlah engkau tetap
sebagaimana adanya
daisuki na sono egao
kumorasete gomen ne
inottemo toki no nagare
hayasugite
tooku made nagasareta
kara modorenakute
Maaf, kala itu kubuat
senyummu yang kucinta mengerucut
Meski kumohonkan,
tetapi aliran waktu begitu cepat
tak bisa terhenti,
mengalir hingga jauh tak berjarak
aa odayaka na kagayaki
ni irodorare
saigetsu ha yoru wo
yume ni kaerumitai dakara
Ah, diwarnai damainya
cahaya gemerlap
karenanya kuingin
mengganti waktu jadi malam dalam indahnya mimpi
me wo korashite
saa!
anata no sugu soba ni
mata atarashii hana ga umarete
komorebi no naka de
azayaka ni yureteru
Tajamkan penglihatanmu!
Di sisimu nanti,
sekuntum bunga terlahir kembali
Bergoyang di bawah
benderangnya cahaya mentari menyibak dedaunan
itsumademo mimamotte
agetai kedo
mou daijyoubu yasashii
sono te wo
matteru hito ga
irukara kao wo agete
Meski kuingin
mempertahankanmu hingga kapanpun
kini kupahami seseorang
telah menanti
'tuk menggenggam
tanganmu dengan lembut
tengadahkan wajahmu!
ne toii hi ni koi wo
shita ano hito mo
urarakana kono kisetsu
wo aisuru hito to ima
kanjiteru ka na?
akankah dia yang
kukasihi sekian waktu lalu
kini, bersama kekasih
barunya
merasakan cerahnya
musimku?
aa watashi no kakera
yo
chikara tsuyoku
habataite yuke
furikaeranaide hiroi
umi wo koete
takusan no hikari ga
itsumo hi ni mo arimasu youni
anata ga iru kara kono
inochi ha eien ni tsudzuite yuku
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh,
kepakkan sayapmu
jangan kau berpaling
kembali, lintasilah samudera luas
kuharap beribu cahaya
akan menerangimu setiap waktu
karena kau ada di sini,
hidupku pun berlanjut dalam keabadian
aa ryoute ni afuresouna
omoidetachi karenai you
ni
yukkuri ashita wo
atsumete yuku kara
Ah… kenangan yang
meluap di lenganku ini
layaknya takkan bisa
mengering
karenanya rangkumlah
esok yang tiba dengan lambat
watashi no kakera
yo
chikara tsuyoku
habataite yuke
furikaeranide hiroi umi
wo koete!
Ah… wahai kepinganku
jadilah tangguh,
kepakkan sayapmu
jangan berpaling
kembali, lintasilah samudera luas!
saya dapat terjemahannya dari larukupedia
kalau ada yang penasaran dengn lagunya silakan klik link berikut: Pieces
mohon maaf kalau banyak kesalahan kata atau nggak nyambung.. nulisnya cuma satu jam dan pake acara ngantuk pula heheheh... demi oz, kepingan bunda ^.^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar