Kamis, 27 Februari 2014

Mereka Anakmu...

izinkan saya hanya bercuap, berkicau, berkata-kata tanpa minta dihakimi atau dinilai...
saya hanya ingin mengungkapkan pemikiran saya sebagai seorang ibu dari tiga buah hati shalih yang saya miliki.

pemikiran seorang ibu biasa yang sehari-harinya membersamai buat hati melalui masa-masa hidup mereka.
semakin hari, semakin bertambah banyak kebersamaan saya dengan anak-anak saya. semakin banyak hal yang saya pelajari dari mereka, tentang diri saya, tentang mereka, tentang orang lain.
dulu saya sering tak habis pikir dengan ibu-ibu atau bapak-bapak yang dengan seenak hatinya memarahi anak-anak mereka, mencela, bahkan tak jarang melayangkan kontak fisik yang tidak semestinya (memukul, mencubit, menjewer, dsb).
saat itu saya hanya berpikir, "anak sendiri, dilahirin susah-susah, dibesarin susah-susah, tapi dimarahinnya suka-suka."
well, itu saya yang dahulu.
saya yang sekarang ternyata jadi jauh lebih berimbang dan memaklumi apa yang beberapa orang itu lakukan.

tak saya pungkiri, memiliki anak dan mengasuhnya sendiri (tidak dibebankan pada baby sitter) adalah sebuah hal yang sangat dahsyat. bagai rolercoaster yang berjungkir balik dan sangat dinamis.
bagaimana hampir setiap detik saya harus mendengarkan ucapan ini itu, pertanyaan-pertanyaan, pernyataan-pernyataan, rengekan-rengekan, bahkan tangisan. dan dari ketiga bocah kecil? ah, mereka tidak menunggu giliran untuk berbicara atau merengek atau menangis, setelah saudaranya baru gilirannya. itu tidak akan terjadi dalam dunia nyata.
karena pada kenyataannya mereka sering sekali berkata, merajuk, bahkan menangis bersamaan. what a life :)

belum lagi setumpuk hal lain yang meminta perhatian saya untuk diurusi. iya, bukan hal-hal besar macam meeting dengan karyawan, presentasi di depan klien, atau paper-paper menjulang yang sering dihadapi para mahasiswa.
hal-hal yang saya hadapi sangat remeh temeh. sering dipandang sebelah mata. gak elit bahkan.
tapi pekerjaan2 itu meminta perhatian saya hampir 24 jam dari waktu yang saya punya (bahkan ketika sudah tertidur malam pun saya masih harus dibangunkan, ibarat perawat yang kebagian shift malam).

karena sejumlah kenyataan yang akhirnya menghampiri saya itulah kenapa paradigma saya mulai berubah ketika melihat seorang ibu atau bapak memarahi anaknya.

capek, lelah, pusing, mumet, dan segambreng keluhan lainnya...

ya, akhirnya saya maklum jika ada ibu-ibu atau bapak-bapak yang agak tegas terhadap anaknya,
"Kakak, harus bisa diatur dong!"
"Kamu ga boleh lari-larian di situ!"
"Ibu nggak mau beliin yang itu, biar aja kamu nangis!"
saya maklum, selama tidak ada kata-kata menyakitkan yang terlontar dari orang tua.
selama tidak ada kekerasan fisik yang dilancarkan orang tua pada anaknya.
selama apa yang disampaikan sang ibu atau bapak dalam marahnya itu bertujuan baik dan beralasan.
saya sangat memakluminya.

tapi tetap, jika dalam marah itu sang ibu atau bapak melancarkan kekerasan fisik, kata-kata yang menyakitkan, atau perlakuan kasar lainnya yang tidak masuk akal, saya tetap tidak setuju.

hei, itu anak kamu!
mereka ga pernah meminta dilahirkan, kalianlah yang meminta sepenuh harap pada Tuhan!
setidaknya, kalianlah yang menyebabkan mereka lahir ke bumi!

ketika dengan lancarnya lisan berucap, menceramahi anak mengenai kelakuan mereka,
mencubit, memukul, atau berlaku kasar lainnya,
ketika hati sangat dipenuhi oleh sejuta emosi dan rasanya akan sangat melegakan jika itu ditumpahkan pada sang anak karena kecerobohan mereka, atau karena sikap mereka yang menurut kita tidak bisa diatur, pernah kah terbesit satu pemikiran, "bagaimana seandainya dia diambil oleh Yang Menitipkannya? oleh Sang Pencipta."

ketika pagi hari kau memarahi anakmu
hanya karena mereka tidak mau sarapan,
hanya karena mereka menumpahkan susu,
hanya karena mereka susah fokus terhadap apa yang semestinya mereka lakukan,
kau memarahinya, menceracau tak tentu arah, menggelontorkan sejuta kata yang ternyata menyakitinya..
lalu mereka berangkat sekolah dengan perasaan yang suram, hati yang sangat tidak tenang karena malaikatnya baru saja berubah menjadi monster mengerikan,
tapi mereka tetap mencium tanganmu, mengucapkan salam, dan tetap menyayangimu...
dan tiga jam kemudian kau mendapat panggilan darurat dari guru anakmu, mengatakan bahwa kau harus segera ke sekolah...
di sana kau mendapati tubuh lunglai anakmu, nyaris tak bernafas, diam saja sambil menggenggam sebuah tulisan yang katanya akan dipersembahkan untukmu...

atau ketika di rumah..
anakmu sulit kau suruh mandi,
sudah dibujuk berulang kali,
sudah beribu cara kau coba untuk membuatnya berjalan ke kamar mandi,
hingga akhirnya kau menarik dengan kasar tubuh mungilnya,
kau buka bajunya dengan perlakuan yang sangat kasar tanpa kasih sayang seorang orang tua,
kau bawa ia ke kamar mandi dan kau siram dengan sangat kasar air ke atas kepalanya,
masih belum puas, kau bentak dia dengan beribu serapah...
ia menangis...
manusia kecil tanpa dosa itu menangis...
orang yang biasa memeluknya kini bagaikan pembunuh yang sadis...
lalu tengah malam ia menggigil,
demamnya tak kunjung turun,
kesadarannya semakin berkurang,
tapi bibir mungilnya memanggil-manggil namamu, "bunda.. bunda.. bunda"
padahal beberapa jam yang lalu kau baru saja memuaskan egomu dengan melampiaskan sejuta kesal padanya,
namun ia tetap membalas dengan cinta...

atau ketika di mall...
ketika ia merengek meminta mainan yang padahal sudah ada di rumah,
kau memarahinya,
membentaknya dengan hati membara,
bahkan menghardiknya dengan sangat kasar hingga ia gemetar,
sudah tak lagi dijumpainya sosok penuh cinta,
berganti manusia tanpa hati yang siap menelannya kapan saja.
lalu ia menghilang dari gandengan tangamnu,
awalnya karena ia masih merasa sedih atas sikapmu,
ia memisahkan diri darimu,
namun ada manusia jahat di luar situ,
mencuri kesempatan itu dan mengambil anakmu selamanya,
dan kau tak bisa lagi melihat sosoknya, seumur hidupmu..

ketika amarahmu sedang memuncak, wahai ibu ayah,
ingatlah jika anakmu bukan milikmu,
mereka hanya titipan,
ketika mereka diambil darimu karena kesalahanmu,
kau hanya akan mendapati sebuah ruang kosong yang tak lagi dijadikan singgasana,
tak ada lagi teriakan nyaring yang biasa kau dengar,
tak lagi kau bisa memeluk tubuh mungilnya,
mencium harum khas aromanya tubuhnya,
mendengarkan merdu suaranya,
atau bahkan belaian lembut penuh sayang darinya...

tak akan ada lagi yang memanggilmu, "bunda", "ayah", "mama", "papa", "umi", "abi"...

mereka amanah,
amanah haruslah dijaga,
bukan disiakan,
karena yang menitipkan pasti akan melihatnya sebagai pertanggung jawaban...

siapkah engkau kehilangan?
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar