Jumat, 21 April 2017

Film: Kartini, Reka Ulang Sejarah atau Penafsiran Belaka?






Jika saja saya tidak terlahir dalam keadaan muslim dan tidak belajar Islam, saya tidak akan tahu betapa Islam sangat memuliakan wanita--saya rasa banyak muslimah, bahkan yang sudah mengikuti banyak pengajian, yang juga  tidak tahu betapa mulia posisinya di dalam islam.
Dan pastinya saya akan sangat terhanyut dengan film garapan Hanung ini dan  menelannya bulat2...

Berbicara mengenai film Kartini, untuk alur dan sinematikanya, Hanung memang jagoan...
Ia seolah menjadikan penontonnya sebagai pribumi di tanah Jawa abad 19 (tahun 1800-an), merasakan kentalnya kultur tanah jawa pada masa penjajahan belanda, mencecap banyak sekali adat istiadat jawa melalui unggah ungguh dan juga bahasanya, serta menggambarkan sedikit banyak apa yang terjadi di masa itu terhadap pribumi dan penjajah--dalam hal ini hubungan para bangsawan dengan penjajah.
Pengambilan gambar yang dilakukan oleh Hanung, meski latarnya sebatas rumah ke rumah, hanya beberapa kali ke sebuah desa pengukir kayu dan taman penuh bunga yang dikatakan sebagai negeri belanda, namun seolah menggambarkan keadaan indonesia dan belanda pada masa itu.
Alur cerita yang dibuat hanung cukup halus dan menghanyutkan. Momen paling berasa (feminismenya) adalah saat kartini dan 2 adiknya bermain2 di pantai...

Tunggu, feminisme?
Dengan keadaan jawa pada masa itu, di mana diceritakan di film dan juga literasi2 yang ada, baik dari barat maupun yang telah berkembang lama, wanita jawa adalah manusia tanpa hak kecuali hak untuk tetap hidup. Tekanan yang dihadapi para wanita jawa itulah yang membuat Kartini ingin melawan. Dan ia yang, lagi2 berdasarkan cerita film tersebut, besar dalam pendidikan belanda (sebagai bentuk politik etis) dan banyak melahap buku-buku belanda baik fiksi maupun non fik
si, tentu saja pada akhirnya melihat bahwa barat (dalam hal ini belanda) memiliki jawaban atas ketidakadilan yang kaum wanita rasakan saat itu yaitu FEMINISME. Bahkan jelas dalam sebuah scene diperlihatkan Kartini 'berbincang' dengan tokoh Stella, dan ia bertanya, "Stella, apakah kamu feminis?"
Ya, dalam filmnya Hanung seolah ingin menyampaikan pesan bahwa jawaban dari ketidakadilan persamaan hak antara laki2 dan perempuan adalah FEMINISME..
Namun maaf saja, itu sebuah KESALAHAN BESAR...

Merujuk sebuah buku (Muslimah Sukses Tanpa Stress), salah satu efek gerakan feminisme adalah terciptanya 'superwoman' di masa sekarang ini, apakah salah? Jelas, karena superwoman sangat tak sesuai fitrah. Ia hanya menciptakan banyak sekali wanita yang terjebak depresi saat mengejar predikat superwoman.
Bahkan yang lebih ekstrim, berdasarkan penuturan doktor Dinar, seorang peneliti di INSISTS, sebuah portal berita luar negeri (the guardian), mengemukakan hasil riset antara tahun2 sebelum gerakan feminisme mencuat hingga setelah adanya gerakan feminisme, yang hasilnya sungguh mengejutkan! Ternyata tingkat kebahagiaan wanita jauh lebih tinggi sebelum adanya gerakan feminisme dibandingkan setelah ada gerakan tersebut. bisa lihat linknya di sini.

foto dapat di sini

Dan jika saya boleh berandai, ingin rasanya saya mengajak Kartini mengenal islam dengan sangat baik hingga ia benar2 tahu bahwa posisi mulia memang ditawarkan oleh Islam bagi perempuan, tidak seperti barat yang justru melihat perempuan tak lebih dari makhluk yg tak ada gunanya (ini menurut socrates)...

Atau saya sendiri salah berandai? Karena sependek pengetahuan saya, dan ada jelas disebutkan di beberapa sumber bahwa Kartini memeiliki seorang kakek yang merupakan guru mengaji. Memiliki kakek yang merupakan guru mengaji namun tak tahu islam? Ini sebuah hal aneh. Setidaknya menurut saya. Jawabnya ada 2: kartini tidak dekat dengan kakeknya yang mengerti islam sehingga kartini tdk mengenal islam dengan baik, atau memang ada fakta sejarah yang tdk diceritakan di sini...

Keduanya memungkinkan, namun hal yang paling mungkin adalah jawaban nomor 2. Kenapa? Merujuk dari tulisan dr Adian Husaini di link ini, Kartini dimunculkan justru bukan oleh orang indonesia, namun oleh Belanda sendiri. Maka merupakan sebuah kewajaran jika banyak sekali fakta yang tidak dibuka bukan saja terkait kartini, namun juga tentang masa itu.

Dan merujuk pada literasi yang ada, bahwa Kartini berkawan dengan Haji Agus Salim, Menteri Luar Negeri pada masa Presiden Soekarno, di mana H. Agus Salim merupakan seorang jenius yang taat beragama, tak mungkin rasanya Kartini jauh dari nilai-nilai islam. Namun kita memang tak bisa hanya merujuk pada hal tersebut, karena memang pasa masa itu penjajah sangat mengekang muslim Jawa mempelajari Islam bahkan mengetahui arti ayat-ayat quran, berbeda dengan muslim di Sumatera (yang mana pada masa penjajahan, banyak sekali perlawanan dari tanah sumatera, karena ajaran Islam mengenai kemerdekaan).

haji Agus Salim dan Istri beliau, sumber foto: dari sini


Dalam film itu juga diperlihatkan bahwa sistem poligami yang dijalani pada masa itu sungguh merupakan sebuah hal yang sangat menyakitkan bagi wanita.
Meminjam kata-kata seorang sahabat, apakah memang demikian adanya masa itu ataukah ini salah satu bentuk pemaksaan pola pikir zaman sekarang yang dibawa ke masa itu berdasarkan penafsiran sang sutradara dan penulis skenario?
Lagi-lagi hal ini tidak tergambar dengan baik (secara adil) dalam film tersebut.

Maka ketika kita menyaksikan film Kartini besutan Hanung ini, silakan nikmati dengan baik sampai habis film tersebut, namun jangan terlupa untuk tetap berpikir kritis sesuai dengan world view Islam yang kita miliki dengan baik.

#kartini
#catatanbundy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar