Pandangan
Orang Tentang Nikah Dini
Ketika akhirnya orang
tua saya, saat itu mama, mengatakan pada keluarga bahwa saya akan menikah dan
tetap berkuliah ada begitu banyak ekspresi yang dikeluarkan oleh anggota
keluarga besar. Sesuai dugaan saya saat itu, pasti akan banyak sekali dugaan
ketika mama mengungkapkan niat saya untuk menikah saat kuliah. Sejujurnya saat
itu saya tidak terlalu memusingkan dugaan orang-orang terhadap keputusan saya.
Tapi ternyata setelah kejadian, orang-orang mengungkapkan pikirannya
masing-masing, mau gam au itu jadi salah satu pikiran saya.
MBA
(Married by Accident)
Hehehehe… ga bisa saya
tolak kan kalau ternyata ada dugaan bahwa saya nekad minta nikah saat masih
kuliah ya karena dikira sudah hamil duluan. Awalnya saya hanya tertawa saja
ketika mama mengungkapkan salah satu dugaan keluarga besar. Tapi kok ya jadi
kepikiran juga ya. Kepikirannya bukan karena apa pendapat orang terhadap niat
saya, tapi justru kepikirannya sama mama. Saya takut kalau mama justru
mengiyakan pemikiran itu dalam hatinya. Ikut menduga bahwa anak gadisnya yang
masih imut-imut itu ternyata sudah hamil duluan dan itulah alasannya kenapa
saya minta nikah ‘buru-buru’. Oh no!
Memang sih saya akui
bahwa saya hidup di zaman yang makin ga jelas. Zaman di mana anak SMA bahkan
sudah punya anak usia TK (bingung ya? Hehehe). Zaman di mana hubungan di luar
nikah sudah menjadi rahasia umum, sama-sama tahu, tapi pada pura-pura gak tau.
Maka akan menjadi sebuah kewajaran ketika akhirnya niat menikah saya yang suci
(tsah) akhirnya malah ikut terwarnai fenomena ini. Menikah karena kecelakaan,
hamil duluan, subhanallah… big no no dalam kamus hidup saya! Saya memang senang
bergaul, tapi tetap lah saya punya rambu-rambu dalam hidup saya. I’m single and
expensive, cyin! :))
Untuk mengusir pikiran
MBA, saya mencoba meyakinkan mama dengan membiarkan mama memasuki hidup saya.
Mengetahui kegiatan saya di kampus, mengetahui siapa teman-teman saya di kampus
dan di luar kampus, memberikan kontak teman-teman dekat saya yang mungkin ingin
beliau hubungi, dan tentu saja memberikan kontak calon suami saya beserta
beberapa temannya. Apa gunanya? Saya ingin mama merasa bahwa saya terbuka akan
segala sesuatu tentang hidup saya. Bahwa saya nyaman berbagi apapun dengan
beliau. Dengan begitu saya berharap mama bisa memercayai saya seperti saya bisa
memercayai mama untuk setiap hal dalam hidup saya. ;)
Kena
Aliran Sesat
“Jangan-jangan Windy
kena aliran sesat, Ceu!” seorang om saya mengutarakan kekhawatirannya saat
rapat keluarga besar mengenai keputusan menikah saya saat itu. Memang, saat itu
sedang marak modus menikah dengan tujuan merekrut seseorang untuk masuk ke
sebuah aliran tertentu yang menyimpang. Berangkat dari maraknya hal tersebut,
om saya juga berpikiran seperti itu, bahkan nenek saya juga sampai berpikiran
seperti itu. Efeknya pada saya adalah, setiap ada kesempatan berbicara berdua,
mama selalu menanyakan apakah saya diajak menikah karena orang tersebut memang
ingin mengajak saya ke dalam alirannya. Atau tetiba ketika sedang menemani mama
memasak di dapur, mama menceritakan tetangga nenek yang ternyata kena aliran
sesat yang dimaksud. Saya tahu ke mana arah pembicaraan itu. Untuk menenangkan
beliau, saya menegaskan bahwa saya tetap seorang muslim, sejak lahir, saat ini,
sampai akhir hayat saya.
Untuk menenangkan hati
dan pikirannya, akhirnya mama berdiskusi dengan salah seorang ustadz yang
memang dipercaya di daerah rumah kami. Mama membawa segala berkas dan biodata
taaruf kami, menceritakan dari A sampai Z proses kami dan semua uneg-uneg yang
dipendamnya. Alhamdulillah, ustadz tersebut mendukung kami. Beliau mengatakan
bahwa cara ini sesuai dengan tuntunan Islam. Tanpa berpacaran, tanpa berduaan.
Mengenai mengapa hal ini masih jarang diketahui oleh masyarakat, itu karena
memang masyarakat belum tahu cara yang dianjurkan oleh agama seperti apa.
Alhamdulillah, jalan semakin terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar