Sabtu, 28 Juni 2014

apa kabar, ayah?

Ayah, apa kabar?
Bunda dan anak2 di sini baik-baik saja.
Ayah, pagi ini kakak dan adek sudah bisa mandi sendiri, tidak seperti dulu yang maunya dimandikan oleh ayah.
Sebenarnya mereka minta dimandikan oleh bunda, tapi bunda harus menyiapkan yang lainnya.

Ayah, saat ini setiap hari kami berangkat bersama, kakak dan adek menuju sekolah sedangkan bunda menuju tempat kerja.
Tak seperti biasanya, bund
a hanya di rumah. Mengerjakan berbagai pekerjaan rumah dan mengerjakan hal lainnya. Meski cape tapi tak secape saat ini.

Ayah, sekarang bunda tau bagaimana perasaan ayah selama ini. Ketika terik matahari ayah tetap harus mengendari motor melawan macet ibu kota, atau bahkan ketika harus menerobos hujan saat pulang kerja.
Beberapa bulan pertama saja sudah membuat bunda hampir menyerah, padahal selama ini ayah tidak pernah menampakkan wajah lelah ketika pulang ke rumah.
Ajari bunda, yah. Ajari bunda mengukir senyum itu di wajah.

Teringat ketika itu, suatu hari saat ayah pulang kerja dan tak ada makanan sama sekali karena bunda masih kesal dengan keputusan ayah yang tak mengizinkan bunda pergi bersama teman-teman sekolah.
Bunda pikir ayah akan marah, menceramahi bunda dengan sejuta kata. Bunda tunggu semenit dua menit sampai sejam, tak ada kata-kata apapun kecuali permintaan maaf karena membuat bunda bersedih tak bisa pergi bersama teman-teman.
Saat itu hati bunda luluh, tak ada kesal yang terselip. Justru berganti malu.
Ayah yang seharian bekerja penuh lelah dan keletihan, masih bisa bersabar menghadapi bunda yang kekanakan. Barakallahu, yah...

Ayah, sekarang kakak dan adek semakin besar. Semakin bisa diajak kerjasama dan bertanggung jawab. Adek mendapat tugas mematikan lampu sementara kakak mengunci pintu.
Mereka senang sekali bisa membantu, itu jauh lebih cukup dari apa yang bunda mau.
Mereka sangat mirip denganmu, seorang pribadi yang ringan tangan menolong orang.

Ayah, tak seperti malam-malam biasanya, kita duduk berdua setelah anak-anak terlelap.
Membicarakan apa yang kita kerjakan selama seharian, atau membicarakan apa yang selama seharian ini anak-anak lakukan.
Sekarang bunda hanya bisa berbicara dengan hati sendiri,
Memandangi anak-anak yang terlelap yang semakin hari semakin memantulkan wajahmu di raut mereka.
Tak ada lagi teman bersenda gurau atau berdiskusi tentang kehidupan dan masa depan anak-anak kelak.
Betapa sungguh baru kusadari, betapa bunda sangat membutuhkan ayah.

Ayah, minggu kemarin bunda dan anak-anak pergi ke tempat kita biasa berwisata karena ada acara dari sekolah.
Tapi tidak seperti waktu itu, ketika ayah menggendong kakak di punggung dan membawa adek berkeliling naik sepeda. Semua berbeda. Tak ada tawa ceria kakak dan adek saat bercanda bersama ayah, tak ada senyum bahagia yang terpancar dari wajah mereka seperti saat pergi bersama ayah.
Ternyata jauh di lubuk hati mereka, mereka merindukan ayahnya. Mereka tak pernah menampakkan itu di depan bunda, tapi dalam tidurnya si kakak beberapa kali memanggil-manggil ayah.
Kami merindukanmu, ayah...

Ayah, minggu depan adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang kesepuluh.
Bunda tak pernah lupa awal pertama kita berpegang tangan dulu, selesai ijab qabul di depan penghulu.
Saat itu bunda masih malu-malu, namun ayah dengan lembut menatap mesra dan menyodorkan tangan terlebih dahulu.
Meski tak ada lagi peluk dan cium mesra atau kata-kata rindu melalui media komunikasi seperti sebelumnya, tapi bunda tetap merasakan ayah ada bersama bunda selalu.
Terimakasih telah memilihku menjadi separuh sayapmu.
Memercayaiku mendampingimu.
Menjadikanku ratu di istana indahmu.
Mengajariku mengenal dan mencintai Penciptaku...

Ayah, berbahagialah di sana.
Kelak jika Allah mengizinkan, kita akan berkumpul kembali di syurgaNya.
---------------------------------------

Banyak dari kita menyepelekan kehadiran pasangan kita. Menganggap pengorbanan mereka biasa saja, bahkan tak ada apa-apanya.
Jika kita mau jujur pada hati kita, apa yang sudah kita berikan untuk pasangan kita: apakah keluhan2 kita, rasa kesal kita, atau rasa kurang kita atas semua pemberiannya (cinta dan sayangnya).
Siapkah jika kita berpisah dengannya?
Sudahkah kita memberikan hak-haknya?
Jangan kemudian ada sesal ketika kepergiannya karena ternyata kita belum memenuhi hak-haknya dengan baik...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar