Sabtu, 28 Juni 2014

--Toddler yang Terjebak di Tubuh Orang Dewasa--

Siang itu saya 'berguru' pada salah satu teman, bu yuli namanya. Beliau adalah mantan guru di sekolah anak saya. Bu yuli dikenal sebagai seorang yang profesional sebagai seorang pendidik. Terlihat dari cara kerjanya yang gesit, tak pernah menunda pekerjaan, dan selalu mau belajar... Masya Allah, Keren! 

Di sela-sela waktu, kami (saya dan seorang teman lain dari balik papan) berbincang dengan bu yuli mengenai apa saja terkait dengan pendidikan anak usia dini.

Saat itu bu yuli bercerita bahwa ada kenalannya yang dimarahi oleh mertuanya.
Dikisahkan sang istri sedang terfokus perhatiaannya pada anaknya yang masih bayi, sementara sudah masuk waktu makan.
Suaminya sudah diambilkan nasi dan lauk paul sudah terhidang di meja. Setelah mengambilkan nasi, sang istri pamit karena harus fokus dengan anak mereka yang masih bayi.
Sementara sang istri fokus pada bayi, sang suami tetap duduk tanpa memakan makanan yang sudah dihidangkan.
Melihat hal tersebut, sang mertua yang kebetulan sedang berkunjung ke rumah mereka, marah pada menantu perempuannya itu,
"Oh, jadi begini. Anakku nggak diurusin?"
Ternyata selama ini sang suami selalu disuapi makan oleh ibunya, bahkan sampai besar dan bekerja.
Hingga akhirnya menikah, maka kebiasaan itu sulit dihilangkan. Sang suami tidak mengerti situasi, yang dipikirkannya hanyalah kebutuhannya.

Oke, mungkin kasus itu agak ekstrim ya.
Tapi pernah nggak memiliki teman yang sulit berbagi, sulit mendengarkan, atau sulit bertanggung jawab?
Atau jangan2 itu adalah kita sendiri?
Kita? Kamu, kali, win :D



Sejatinya, fase toddler atau anak batita, adalah fase di mana kebutuhan anak masih dibantu oleh orang lain, dia belum memiliki kecakapan hidup untuk mengerjakan hal-hal yang seharusnya sudah bisa ia kerjakan sendiri karena merupakan hal-hal pokok untuk dirinya. Fase di mana mentalnya pun masih belum matang: egosentrisnya tinggi (belum bisa berbagi, tak bisa mengalah, tak bisa menerima kesalahan), tak bisa bertanggung jawab terhadap apa yang ia perbuat.


Tapi fase toddler ini ternyata bukan saja dialami oleh anak batita. Ini bisa berlanjut pada orang-orang besar yg menurut bilangan usia sudah dianggap dewasa.

Pernah lihat orang di lampu merah atau di jalan yang bertengkar karena hal sepele seperti meributkan suara klakson?
Pernah menemui orang-orang yang sulit mengantri di antrian umum seperti ketika mau membayar tiket kereta, beli karcis masuk arena hiburan, atau mengantri saat prasmanan di resepsi pernikahan?
Pernah melihat orang tua maupun anak muda yang terlihat keren tapi kelakuannya bak manusia primitif karena untuk buang sampah saja mereka ga tau di mana tempatnya dan akhirnya asal buang?
Atauuuuu... Pernah kesel karena ada tempat parkir kosong, tp tidak bisa ditempati oleh kita karena mobil yang duluan parkir tidak mengindahkan pembatas parkiran, sehingga parkiran dua mobil/motor hanya bisa dipakai satu kendaraan?

Itu ciri-ciri toddler yang terperangkap di tubuh orang dewasa (istilah yang kemarin keluar dari saya begitu mendengar kisah dari bu yuli, maaf kalau kurang tepat).

Ya, mental mereka masih mental anak batita, meski wujud jasmaniah mereka sudah remaja, atau bahkan sudah beranjak tua.

Salah mereka kah? Iya...
Tapi ingat, pola asuh 7 tahun pertama itu juga menentukan!

Merasa repot, ribet, lama banget ketika melihat anak kita yang masih kecil makan makanannya sendiri?
Wajar ya. Tapi biarkanlah mereka berusaha sendiri. Kita bisa bantu dengan ikut mengumpulkan makanannya ke tengah piring agar mereka mudah menyendok.

Merasa ga kalau masak di dapur bersama bocah2, masaknya jadi jauuuuh lebih lama dari biasanya?
Tapi tidak apa-apa, itu adalah proses mereka belajar. Belajar menyiapkan makanan bersama bundanya.

Atau bisa jadi kita merasa sangat repot ketika kedua anak kita sedikit-sedikit meributkan hal-hal sepele.
Tidak apa-apa. Bantu mereka menyelesaikan hal itu.
Uraikan apa masalahnya, cari jalan keluar terbaik bagi mereka.
Ini bisa menjadi ajang mereka menyelesaikan masalah.

Misalnya mereka berebut mainan, kita ambil dulu mainan yang direbutkan.
Uraikan apa masalahnya.
"Mainannya ada satu, sedangkan yang ingin memainkan ada dua. Kita harus bagaimana?"

Hal-hal yang mungkin kita anggap sepele saat mereka kecil (makan sendiri, ambil minum sendiri, biasakan membuang sampah, berbagi dengan saudara, bersabar menunggu giliran, membantu membereskan rumah, ikut masak di dapur, dsb) ternyata adalah pelatihan kecakapan hidup mereka.
Hal-hal sepele seperti itu yang kelak akan memengaruhi cara bersikap mereka ketika dewasa.

Orang dewasa ga bisa menjadi orang yang dewasa mentalnya dengan cara instan.
Kita ga diprogram untuk menjadi dewasa setelah usia sekian atau sekian.
Tapi kita dididik untuk hal itu.
Itu pula yang harus kita lakukan pada anak-anak kita.
Mereka ga akan seujug-ujug bisa mengalah, bisa mengerti kondisi orang lain, bisa berempati, bisa bersikap sopan, bisa memenuhi kebutuhannya sendiri.
Mereka bisa itu semua dengan pembiasaan, dengan dilatih, dididik, didampingi saat kecil.
Ga bisa sekali dua kali, sehari dua hari, tapi butuh proses panjang. Dan butuh kesabaran.

Mumpung masih kecil, masih mudah dibentuk, bentuklah anak kita menjadi anak yang baik, yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, yang bertanggung jawab.

Semakin sering anak dibiasakan, maka akan terpola kebiasaan itu didalam otaknya dan akan menjadi karakternya.

Tidak mudah memang, butuh usaha sangat besar. Karena memang menjadi orang tua bukanlah pekerjaan sambilan.
Dan butuh doa, agar anak kita bisa menjadi qurata'ayun, penyejuk pandangan.
Terus berusaha, dan terus bersabar dalam usaha kita. In sha allah berbuah indah kelak ketika mereka menjadi manusia dewasa...

Always try to be the best parent for our kiddos...
-bundy-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar